SASI GEREJA” ( Studi PAK di Jemaat GPM Imanuel Sather
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Adat Sasi
Pulau Kei adalah sebuah budaya Kearifan lokal daerah setempat yang unik baik di
Pulau Kei besar maupun di Kei Kecil. Kepulauan tempat bercokolnya kabupaten Maluku Tenggara ini selain memiliki adat
budaya lokal dengan nama “SASI”,. Adat
Sasi di Pulau Kei Besar, Kei Kecil ini digunakan masyarakat untuk melindungi
alam sekitarnya.
Istilah Sasi dimengerti dalam dua bahasa atau
penyebutannya yaitu “Yot” berdasarkan penyebutan masyarakat Kei Besar,
sedangkan oleh masyarakat Kei Kecil disebut “Yutut”. Meskipun berbeda
penyebutan tetapi artinya sama yaitu larangan yang bersifat melindungi suatu
hasil tertentu dalam batasan waktu tertentu; Sasi mempunyai sifat atau kekuatan
tertentu yang berlaku untuk umum maupun untuk perorangan.[1]
Dikisahkan dari tuturan leluhur, di sebuah tempat
bernama Elaar telah diadakan pertemuan yang diikuti oleh sembilan kelompok. Sembilan
kelompok itu disebut Ur Siu (Rumpun Sembilan). Pertemuan tersebut dipelopori
oleh kakak kandung tertua Dit Sak Mas yang bernama Teb Tut. Agenda pertemuan
adalah mencanangkan hukum sebagai respon keprihatinan terhadap dirampasnya
barang-barang milik Dit Sak Mas.
Kejadiannya adalah ketika Dit Sak Mas dalam perjalanan dari Ohoivuur menuju
Danar untuk menjumpai calon suaminya yang bernama Arnuhu, barang-barangnya
habis dirampas oleh pembegal. Atas kegagalan tersebut Dit Sak Mas mengulang
perjalanan dengan terlebih dahulu meletakkan daun kelapa putih (janur kuning)
pada barang bawaannya sebagai tanda larangan bagi orang lain untuk
mengambilnya. Penandaan barang dengan daun kelapa ini kemudian dikenal dengan
sebutan sasi (Bahasa Kei : Yot/Yutut). Adat sasi sampai kini masih tetap
lestari meskipun sudah mengalami perkembangan dan sering disalahgunakan. Sasi
adalah larangan untuk melindungi suatu tempat / barang atau suatu hasil
tertentu yang mengikat orang lain/ masyarakat untuk
mentaatinya. Hukum
yang dicanangkan pada pertemuan sembilan kelompok tersebut kemudian dikenal
sebagai Hukum Larwul. Dalam Bahasa Kei “lar” artinya darah dan “wul” artinya
merah.[2]
Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil
hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan
populasi sumberdaya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut. Karena
peraturan-peraturan dalam pelaksanaan larangan ini juga menyangkut pengaturan
hubungan manusia dengan alam dan antar manusia dalam wilayah yang dikenakan
larangan tersebut, maka sasi, pada hakikatnya, juga merupakan suatu upaya untuk
memelihara tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan
pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh
warga/penduduk setempat. Saat ini, sasi memang lebih cenderung bersifat HUKUM
ADAT bukan tradisi, dimana sasi digunakan sebagai cara mengambil
kebijakan dalam pengambilan hasil laut dan hasil pertanian.
Secara umum, sasi berlaku di masyarakat sebagai bentuk
etika tradisional. Sasi tidak berhubungan dengan ritus kelahiran, perkawinan,
kematian dan pewarisan, melainkan lebih cenderung bersifat tabu dan kewajiban setiap individu
dan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam yang dimiliki. Seperti yang
kita tahu, bahwa tabo atau tabu berfungsi untuk menjaga kestabilan hidup
masyarakat. Tabu seringkali dikaitkan dengan sesuatu yang terlarang, karena
akan mengakibatkan dampak buruk bagi orang yang melanggar tabu.
Rahail menyatakan, hukum sasi di Kei pada dasarnya
merupakan suatu kaidah hukum yang didasarkan pada sasi pelestarian dan
keseimbangan hubungan alam dengan manusia. Pasal ke tujuh dalam hukum Larwul
Ngabal berbunyi “Hira I ni fo I ni, it did fo it did” yang artinya milik
orang tetap milik mereka milik kita tetap milik kita.[3]
Secara tradisional, sasi diterapkan dalam empat
tingkat, yaitu sebagai berikut[4] :
1. Sasi perseorangan: Yakni sasi yang
diberikan oleh seseorang untuk melindungi sesuatu yang menjadi miliknya yang
kemudian dilaporkan kepada kepala soa atau marga, kades, tuan tanah atau
seeorang yang memang ditunjuk khusus untuk tugas tersebut.
2. Sasi umum: Yakni saksi yang
ditetapkan dalam musyawarah seluruh warga desa yang diberlakuka secara umum.
Inilah jenis sasi hawear dalam kesatuan hukum adat asli Israel.
3. Sasi Gereja: Yakni sasi yang
ditetapkan oleh sidang jemaat dan diumumkan di Gereja.
4. Sasi Negeri: Yakni sasi yang diberlakukan sebagai akibat
persilisihan antara kampong atau desa yang berbeda. Misalnya persilisihan
karena batas tanah atau kawasan meti yang semuanya ini belum jelas pemiliknya.
Sasi juga dapat diberlakukan di lokasi-lokasi dan jenis-jenis sumber
daya alam, yang terbagi menjadi empat kelompok utama, yakni sebagai berikut:
a.
Di laut (Sasi laut), sasi
tersebut diberlakukan dari batas air surut ke batas awal air yang dalam pada
saat tertentu, yakni sebagai berikut :
ii. Menangkap
ikan-ikan di teluk-teluk tertentu dan pada waktu-waktu tertentu.
iii. Menangkap
ikan dengan menggunakn jaring yang bermata kecil.
iv. Menangkap
ikan dengan menggunakan bom atau bahan beracun.
v. Menangkap
ikan dengan menggunakan jaring khusus untuk daerah penangkapan tertentu
vi. Mengambil
lola, karang laut, karang laut hitam, batu karang dan pasir.
vii. Mengumpulkan
rumput laut untuk keperluan makanan atau untuk dijual.
b. Di
sungai (Sasi kali) pada saat :
i.
Menangkap ikan dan udang.
ii. Menangkap
ikan dengan menggunakan jaring bermata kecil.
iii. Menangkap
ikan dengan bom atau racun.
iv. Mengumpulkan
kerikil dan pasir.
v. Menebang
pohon dalam radius 200 dari sungai atau dari sumber-sumber air.
c. Di
Daratan (Sasi hutan) pada saat :
i.
Mengambil hasil
pohon-pohon liar yang ditanam di hutan, seperti kelapa, durian, cengkeh, pala,
langsat, mangga, nenas, kenari, pinang, sagu, enau dan lain sebagainya.
ii. Mengambil
daun sagu untuk atap rumah;
iii. Menebang
pohon pinang dan pohon lainnya yang sedang berbuah untuk membuat pagar.
iv. Menebang
pohon untuk kayu bakar atau kayu bangunan;
v. Menebang
pohon pada lereng-lereng tertentu.
vi. Penghijauan.
vii. Berburu
burung mamalia di hutan
d. Di
pantai (Sasi pantai) pada saat:
i.
Mengambil hasil hutan
mangrov
ii. Mengambil
pasir di pantai
iii. Membuang
sampah sembarangan di pantai
Pelanggaran terhadap semua jenis
sasi di atas akan mendapatkan hukuman bersifat umum masing-masing untuk sasi
yang disebut hawear yakni sasi dengan tanda anyaman daun kelapa mudah biasanya
dikenakan sanksi yang berat dan sangsi ringan akan diputuskan oleh dewan
adat setempat. Adapun patokan dasar dalam penetapan hukum denda ini yakni[5]:
1. Satu buah lela (meriam kuno) atau
emas tiga taahil.
2. Menanggung biaya perkara yang
jumlahnya ditetapkan oleh siding dewan adat atau.
3. Bentuk hukuman lainnya sesuai
pertimbangan sidang dewan adat.
Dampak positif dari Hukum Sasi bagi
masyarakat kei yakni :
1. Menjaga hak milik bersama.
2. Menjaga hak milik orang lain.
3. Dengan adanya sasi orang lebih
membiasakan diri untuk hidup hemat.
4. Sasi dapat diakui langsung oleh
Gereja dan Pemerintah sehinggah hukumannya jelas.
5. Sasi dapat menjaga kelestarian
alam.
6. Sangsi dari sasi berat sehingga
orang selalu hati-hati sehingga tidak terjadi kecurian.
7. Dengan adanya sasi membuat hubungan
antara sesame dan alam sekitar menjadi harmonis
Dampak negatif dari Sasi yaitu :
1. Apabila orang hanya memandang sasi
sebagai hukuman maka hal ini disebut sebagai sikap legalisme. Karena yang
terpenting ialah menjaga kekayaan alam dan juga hak milik orang lain.
2. Jika orang hanya takut jika ada sasi
tetapi mereka tidak takut pada perintah Allah “ jangan mencuri” maka manfaat
sasi tidak ada artinya.
3. Apabila ada pelanggaran maka
ada denda yang harus dibayar oleh orang yang melanggar sasi itu jika tidak maka
orang tesebut harus menanggung akibatnya.
4. Apabila orang melanggar maka ada
penyakit-penyakit yang diderita oleh oknum bersangkutan
Jemaat GPM Imanuel Sather, merupakan jemaat yang berada pada wilayah
kecamatan Kei besar selatan. Yang merupakan wilayah pelayaanan Klasis Elat. Di
dalamnya memiliki beberapa budaya lokal. Salah satu diantaranya, “Sasi” yang sering dipergunakan untuk melindungi
petuanan atau dusun kelapa untuk waktu yang tidak terbatas. Yang pelaksanaanya,
dibawah ke gereja disertai dengan nacar persembahan oleh pemilik untuk diikatkan (apa yang terikat di dunia, terikat
pula di surga) oleh pendeta serta disaksikan seluruh barisan pelayan dan semua
anggota jemaat dalam ibadah minggu yang kemudian digumuli dalam doa syafaat.
Setelah pelaksanaan ibadah, kelapa yang sudah diikatkan dan di
gumuli, dibawah ke hutan dan digantung pada kayu sebagai tanda bahwa, dusun
kelapa telah disasikan. Proses pembukaan
sasipun dilaksanakan sama dengan proses awal pembukaan. Sanksi terhadap
pelanggaran sasi ini adalah jatuh sakit, bahkan sampai meninggal dunia bila
tidak ada pengakuan dan permohonan maaf terhadap pemilik, yang kemudian meminta
barisan pelayanan untuk mendoakan.
Masyarakat kampung Sather memahami sasi gereja ini sebagai sebuah
tradisi yang dibangun sejak leluhur (ubnis) antara pihak gereja dengan adat.
Namun pihak gereja maupun pihak adat, tidak memberikan penjelasan yang baik
kepada masyarakat apa arti sasi gereja yang dilakukan sehingga dari sisi
pemaknaan, masyarakat kurang memahami, ajaran yang terkandung di dalamnya. Pada
akhirnya, kerapkali masyarakat melanggar sasi gereja. Masyarakaat rentan diperhadapkan
dengan konflik antar keluarga oleh karna pelanggaran dan pengambilan buah
kelapa, perusakan dusun dan lainya yang bukan miliknya maaupun milik
saudaranya.
Akibat dari pelanggaran sasi ini beberapa terjadi sehingga,
masyarakat Sather mulai menyadari akan pentingnya makna sasi. Baik dari sisi
hukum agama ( jangan mencuri ) maupun
hukum adat . (“Hira I ni fo I ni, it did
fo it did”).
Berdasarkan latar belakang
di atas, maka penulis merasa perlu untuk mempelajari dan mengkaji lebih jauh, yang tertuang dalam skripsi yang berjudul, “SASI GEREJA” ( Studi PAK di Jemaat GPM Imanuel Sather”
B.
Perumusan
Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas, maka penulis
ingin mempelajari dan mengkaji lebih jauh terhadap masalah ini dengan rumusan
sebagai berikut.
1. Bagaimana pemahaman jemaat
tentang sasi gereja di jemaat GPM Sather ?
2. Apa
Makna sasi gereja bagi jemaat GPM Sather?
3. Faktor-faktor
yang mempengaruhi pelaksanaan sasi gereja di jemaat GPM Sather?
4. Bagaimana
proses pelaksanaan sasi gereja di jemaat GPM Sather?
C.
Tujuan
Penelitian
Tujuan penulis ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan
bagimana pemahaman jemaat tentang sasi gereja.
2. Menjelaskan
makna sasi gereja.
3. Menjelaskan
faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan sasi gereja.
4. Menjelaskan
proses pelaksanaan sasi gereja.
D.
Manfaat
Penelitian
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini
adalah:
1. Secara
akademis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangsi pikir bagi Lembaga Sekolah Tinggi Teologia GPI
Papua Fakfak.
2. Bagi
gereja, penulisan ini diharapkan kedepannya dapat memberikan sumbangan dalam
rangka mendidik warga gereja.
3. Bagi
pribadi, penulisan ini kiranya memberikan sumbangsi besar bagi penulis yang
sementara dipersiapkan menjadi pengajar (guru).
4. Penulisan
proposal ini, dibuat untuk memenuhi salah satu persyaratan formal mengakhiri
studi di Lembaga Sekolah Tinggi Teologia Fakfak.
E.
Metode
Penelitian
Untuk memperoleh data yang objektif, maka penulis
menggunakan teknik pengumpulan data
secara kualitatif. Kirk dan Miller mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai
sebuah tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia
dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam
bahasa dan dalam peristilahannya.[6]
Dengan demikian, metode yang di gunakan dalam
penelitian ini adalah “ Deskriptif, Kualitatif
yang menggambarkan fenomena yang terjadi”.
1.
Unit
Analisa
Unit rianalisa adalah, cara yang
dipakai untuk menganalisa data-data penelitian di lapangan baik lisan maupun
tulisan terkait dengan apa yang telah di teliti oleh penulis. Unit analisa
dalam penelitian ini adalah, jemaat GPM Imanuel Sather.
2.
Unit
Pengamatan Jemaat Imanuel Sather
Unit pengamatan adalah, tokoh-tokoh
adat dan gereja serta semua unsur yang berkepentingan di jemaat Imanuel Sather Klasis
Elat.
3.
Lokasi
Penelitiaan
Lokasi penelitian adalah tempat
dimana penulis mengadakan observasi
langsung dan penelitian sehubungan dengan masalah yang akan dikaji oleh
penulis. Maka penulis memilih lokasi penelitian adalah jemaat GPM Imanuel
Sather. Alasan dasarnya yaitu:
a. Karena
keberadaan penulis sebagai orang Kei.
b. Karena
penulis menganggap penting untuk mengetahui bagaimana peranan gereja di
tengah-tengah budaya local.
c. Karena
penulis merupakan salah satu anak negeri dan jemat Imanuel Sather.
4.
Teknik
pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang di gunakan adalah
wawancara, observasi langsung, dan studi kepustakaan.
a. Wawancara.
Teknik wawancara yang digunakan
adalah, wawancara mendalam. Dengan bentuk wawancara berstruktur, yang secara
sistimatis menggunakan panduan atau pedoman wawancara yang digunakan berupa
pertanyaan-pertanyaan untuk mengkaji permasalahan dan mendapat data sesuai dengan
masalah yang di teliti.[7]
b. Observasi partisipasi
Dalam observasi
ini, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber
data penelitian. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang
dikerjakan oleh sumber data, dan ikut merasakan suka dukanya. Dengan observasi
partisipan ini, maka data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam, dan sampai mengetahui pada
tingkat makna dari setiap perilaku
yang nampak.[8]
c. Study
Kepustakaan
Study Kepustakaan adalah pencarian
atau pengumpulan data dan informasi melalui sejumlah buku yang digunakan oleh
penulis dalam meneliti masalah yang dikaji.
d. Teknik
Analisa Data.
Satu analisa data adalah kegiatan
pengkajian, pengelompokan, dan menyimpulkan data serta mengemukakan hasil
kesimpulan analisa agar dapat menjawab sebuah permasalahan serta dapat di
pertanggungjawabkan sesuai fakta yang benar. Dalam penelitian kualitatif,
analisa data sifatnya berkelanjutan dan di kembangkan sepanjang penelitian.
F.
Kerangka
Teori
A. Kebudayaan
B. Sasi
C. Simbol
D. PAK
G.
Kerangka
Teori
BAB I :Bagian ini berisikan
pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah ,perumusan masalah ,tujuan
penelitian, manfaat penelitian ,metode penelitian, kerangka teori.
BAB II : Bagian
ini berisikan kajian teori mengenai, Sasi Gereja.
BAB III : Bagian ini berisi paparan hasil penelitian
dan analisa data.
BAB IV: Bagian
berisi refleksi theologis.
BAB V : Bagian ini berisikan penutup. Berupa
kesimpulan dan saran dari penulis.
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A.
Kebudayaan
Dalam bahasa Indonesia, kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta
’buddhayah’, yaitu bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal), sehingga
kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia.[9]
Widyosiswoyo. Mengatakan bahwa kata budaya merupakan
perkembangan dari kata majemuk ’budi-daya’ yang berarti daya dari budi, yaitu
berupa cipta, karsa, dan rasa. Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani
dalam kebudayaan, sedangkan kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan
ikhtisar manusia.[10]
Ki Hajar Dewantara, kebudayaan berarti buah budi manusia yang merupakan
hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yaitu alam dan zaman
(kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk
mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya
guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib
dan damai. [11]
Koentjaraningrat, mendefenisikan kebudayaan sebagai seluruh total pikiran,
karya, dan hasil manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan hanya bisa
dicetuskan oleh manusia sesudah proses belajar.[12]
Kebudayaan yang diartikan sebagai totalitas pikiran, tindakan dan karya
manusia tersebut mempunyai tiga wujud.
Pertama, kebudayaan sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai,
norma-norma, peraturan, yag bersifat abstrak yang hanya dapat dirasakan, tetapi
tidak dapat dilihat dan diraba.
Kedua adalah suatu kompleks aktivitas, tingkah laku berpola, perilaku,
upacara-upacara serta ritus-ritus dari manusia dalam masyarakat yang mempunyai
sifat dapat dirasakan dan dilihat tetapi tidak dapat diraba.
Ketiga adalah kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia yang
bersifat dapat dilihat, dirasa, dan diraba. Wujud ini paling konkrit yang
disebut kebudayaan fisik atau material (material culture), contohnya adalah
Candi borobudur, rumah adat sampai kepada pesawat terbang, pesawat ruang
angkasa.
Dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan, hasil karya
manusia, dan kebiasaan yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat
yang diperoleh setelah proses belajar.
Menurut Kluckhohn dalam karyanya Universal
Categories Of Culture, ada tujuh unsur dalam kebudayaan universal[13].
1.
Spiritualitas
Spritualitas dibatasi sebagai
keyakinan atau hubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi, keilahian dan
kekuatan yang menciptakan kehidupan. Sementara agama mengacu kepada sistem yang
diorganisasikan dengan penyembahan, spritualitas dan praktek. Maka spiritualitas
adalah kepercayaan atau suatu hubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi,
pencipta atau sumber segala kekuatan.
2.
Sistem organisasi dan kemasyarakatan
Sistem organisasi dan kemasyarakatan
merupakan produk dari manusia sebagai homo socius. Manusia sadar bahwa tubuhnya
lemah, namun manusia dengan akalnya membentuk kekuatan dengan cara menyusun
organisasi kemasyarakatan yang merupakan tempat kerja yang bekerja sama untuk
mencapai tujuan bersama yaitu meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Organisasi
adalah unit sosial yang sengaja dibentuk dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
3.
Sistem pengetahuan
Sistem pengetahuan merupakan produk
dari manusia sebagai homo sapiens. Pengetahuan dapat diperoleh dari pemikiran
sendiri dan juga dari pemikiran orang lain. Kemampuan manusia untuk mengingat
apa yang telah diketahui, kemudian menyampaikan kepada orang lain melalui
bahasa menyebabkan pengetahuan menyebar luas. Terlebih apabila pengetahuan itu
dapat dibukukan, maka penyebarannya dapat dilakukan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
4.
Sistem mata pencaharian hidup
Sistem mata pencaharian hidup
merupakan produk dari manusia sebagai homo economicus menjadikan tingkat
kehidupan manusia secara umum terus meningkat. Dalam tingkat sebagai food
gathering, kehidupan manusia sama dengan hewan. Tetapi dalam tingkat food
producing terjadi kemajuan yang pesat. Setelah bercocok tanam, kemudian
beternak yang terus meningkat (rising demand) yang kadang-kadang cenderung
serakah. Sistem mata pencaharian hidup ini meliputi jenis pekerjaan dan
penghasilan.
5.
Sistem teknologi dan peralatan
Sistem teknologi dan peralatan
merupakan produksi dari manusia sebagai homo faber. Bersumber dari pemikirannya
yang cerdas serta dibantu dengan tangannya yang dapat memegang sesuatu dengan
erat, manusia dapat menciptakan sekaligus mempergunakan suatu alat. Dengan
alat-alat ciptaannya itu, manusia dapat lebih mampu mencukupi kebutuhannya.
6.
Bahasa
Bahasa merupakan produk dari manusia
sebagai homo longuens. Bahasa manusia pada mulanya diwujudkan dalam bentuk
tanda (kode), yang kemudian disempurnakan dalam bentuk bahasa lisan, dan
akhirnya menjadi bahasa tulisan. Bahasa-bahasa yang telah maju memiliki
kekayaan kata yang besar jumlahnya sehingga makin komunikatif.
7.
Kesenian
Kesenian merupakan hasil dari manusia
sebagai homo esteticus. Setelah mencukupi kebutuhan fisiknya, manusia perlu dan
selalu mencari pemuas untuk memenuhi kebutuhan psikisnya. Semuanya
itu dapat dipenuhi melalui kesenian.
Kesenian ditempatkan sebagai unsur terakhir karena enam kebutuhan sebelumnya,
pada umumnya harus dipenuhi lebih dahulu.
Budaya
Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional, kebudayaan lokal, maupun
kebudayaan asal asing yang telah ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka
pada tahun 1945. Kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang diakui sebagai
identitas nasional. Wujud kebudayaan daerah Indonesia sendiri tercermin dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh daerah di Indonesia. Setiap
daerah memiliki ciri khas kebudayaan yang berbeda. Kebudayaan Indonesia apabila
di bagi berdasarkan jenisnya, akan dilihat dari unsur : Rumah Adat, Tradisi
Adat, Tarian, Lagu, Alat Musik, Pakaian Adat dan Makanan.
Salah
satu kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan Maluku. Budaya Maluku adalah aspek
kehidupan yang mencakup adat istiadat, kepercayaan, seni dan kebiasaan lainnya
yang dijalani dan diberlakukan oleh masyarakat Maluku. Maluku merupakan
sekelompok pulau yang menjadi bagian dari Nusantara. Maluku berbatasan dengan
Timor di sebelah selatan, pulau Sulawesi di sebelah barat, Irian Jaya di
sebelah timur dan Palau di timur laut. Ibu kota Maluku adalah Ambon yang
bergelar atau memiliki julukan sebagai Ambon Manise. Maluku memiliki beragam
budaya dan adat istiadat mulai dari alat musik, bahasa, tarian, hingga seni
budaya.
B.
Sasi
Suhartini, dalam penelitiannya mengemukakan bahwa
kearifan lokal merupakan warisan nenek
moyang kita dalam tata nilai kehidupan yang menyatu dalam bentuk religi,
budaya dan adat istiadat. Dalam
perkembangannya masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungannya dengan
mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, peralatan,
dipandu dengan norma adat, nilai budaya, aktivitas mengelola lingkungan guna
mencukupi kebutuhan hidupnya. Jika
melihat evolusi hubungan manusia dengan alam di masa lampau telah terbentuk
suatu hubungan yang harmonis yang disebut pan cosmism di mana manusia berusaha
untuk hidup selaras dengan alam.[14]
Dalam pandangan manusia pada masa itu, alam itu besar
dan sakral oleh karena itu harus dipelihara sehingga tidak terjadi kerusakan
alam dan berakibat negatif bagi manusia itu sendiri. Dalam merealisasikan
gagasan itu manusia menciptakan pamali- pamali atau etika bertindak dan
bertingkah laku terhadap alam. Hampir sebagian besar etnis di Negara ini
memiliki aturan-aturan dimaksud yang disebut sebagai kearifan lingkungan.
Nababan dalam penelitiannya, menemukan bahwa beberapa
masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya
keanekaragaman hayati alami. Merupakan realitas bahwa sebagian besar masyarakat
adat masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Sistem-sistem lokal diwariskan dan ditumbuh-kembangkan terus- menerus secara
turun-temurun.[15]
Untuk menjaga keselarasan hidup antara manusia dan
dengan alam dan untuk mempertahankan kelestarian maka masyarakat adat Kei sama
dengan masyarakat hukum lainya mempunyai hukum adat dan lembaga adat yang
bertugas untuk mengawasi wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan
termasuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan terhadap
tanah-tanah maupun laut yang berada dalam lingkungan persekutuan bersangkutan.
Sasi mengandung makna larangan mengambil hasil
sumberdaya alam tertentu sebelum masa panen sebagai upaya pelestarian demi
menjaga mutu dan ketersediaan populasi sumber daya hayati baik hewani maupun
nabati, baik yang di darat maupun yang di laut.
Menurut Kissya, sasi pada hakekatnya merupakan suatu
upaya untuk memelihara tatakrama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah
pemerataan pembagian atau pendapatan
dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga atau penduduk setempat.
Untuk itu keberadaan sasi sangat membantu masyarakat untuk mengelola dan
memanfaatkan sumberdaya yang ada di wilayah pesisir secara optimal agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
wilayah pesisir.[16]
C.
Simbol
Geertz, dalam usahanya untuk memahami kebudayaan, ia melihat kebudayaan
sebagai teks sehingga perlu dilakukan penafsiran untuk menangkap makna yang
terkandung dalam kebudayaan tersebut. Kebudayaan dilihatnya sebagai jaringan
makna simbol yang dalam penafsirannya perlu dilakukan suatu pendeskripsian yang
sifatnya mendalam[17]
.
Geerts
secara jelas mendefinisikannya. “Kebudayaan adalah suatu sistem makna dan
simbol yang disusun dalam pengertian di mana individu-individu mendefinisikan
dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya; suatu
pola makna yang ditransmisikan secara historik diwujudkan di dalam
bentuk-bentuk simbolik melalui sarana dimana orang-oarang mengkomunikasikan,
mengabadikannya, dan menmgembangkan pengtahuan dan sikap-sikapnya ke arah
kehidupan; suatu kumpulan peralatan simbolik untuk mengatur perilaku, sumber
informasi yang ekstrasomatik”. Karena kebudayaan merupakan suatu sistem
simbolik, maka proses budaya haruslah dibaca, diterjemahkan, dan
diinterpretasikan.[18]
Konsep kebudayaan
simbolik yang dikemukakan oleh Geertz diatas adalah suatu pendekatan yang
sifatnya hermeneutic . Suatu pendekatan yang lazim dalam dunia seniotik.
Pendekatan hermeunetik inilah yang kemudian menginspirisasikannya untuk melihat
kebudayaan sebagai teks-teks yang harus dibaca, ditranslasikan, dan
diinterpretasikan. Pengaruh hermeunetic dapat kita lihat dari beberapa tokoh
sastra dan filsafat yang mempengaruhinya, seperti Kenneth Burke, Susanne
langer, dan Paul Ricouer. Seperti Langer dan Burke yang mendefinisikan
fitur/keistimewaan manusia sebagai kapasitas mereka untuk berperilaku simbolik.
Geertz
menfokuskan konsep kebudayaan kepada nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman
masyarakat untuk bertindak dalam mengahadapi berbagai permasalahan hidupnya. Sehingga
pada akhirnya konsep budaya lebih merupakan sebagai pedoman penilaian terhadap
gejala-gejala yang dipahami oleh si pelaku kebudayaan tersebut. Makna berisi
penilaian-penilaian pelaku yang ada dalam kebudayaan tersebut. Dalam
kebudayaan, makna tidak bersifat individual tetapi publik, ketika sistem makna
kemudian menjadi milik kolektif dari suatu kelompok. Kebudayaan menjadi suatu
pola makna yang diteruskan secara historis terwujud dalam simbol-simbol.
Kebudayaan juga menjadi suatu sistem konsep yang diwariskan yang terungkap
dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengannya manusia berkomunikasi,
melestarikan, dan memperkembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan
sikap-sikap terhadap kehidupan.
D.
PAK
Pendidikan Agama mulai ketika agama sendiri mulai
muncul dalam kehidupan manusia. Tiap-tiap agama agama mempunyai sistim
pendidikannya tersendiri. Setiap agama merasa perlu untuk mengajarkan anak-anak
mudah tentang kepercayaan, adat-istiadat dan kebaktian agama itu. Sebelum
mereka dapat ditabiskan menjadi anggota penuh dari persekutuan agama itu.
Wajiblah mereka diajar dan dilatih dalam
segala teori dan praktek agamanya itu. Berkenaan
dengan itu, tiap-tiap agama mempunyaai guru-guru dan lembaganya yang ditugaskan
menjalankan pendidikan agama itu, selama ada agama dan pendidikan agama.[19]
Dalam Perjanjian Lama, nenek moyang kaum Israel,
Abraham, Ishak dan Jakub, menjadi guru bagi seluruh keluarganya. Sebagi bapak
dari bangsanya, merek bukan saja menjadi imam yang merupakan pengentara anara Tuhan
dengan umat-Nya, tetapi juga menjadi guru yang mengajarkan tentang
perbuatan-perbuatan Tuhan yang mulia dan segala janji Tuhan yang membawa berkat
kepada Israel turun-temurun. Bimbingan dan maksud Tuhan itu perlu dijelaskan
kepada segala anak - cucunya[20].
Ishak menuruskan pengajaran yang penting itu dan
kemudian anaknya Yakub menanamkanya segala perkara ini kedalam batin
anak-anaknya. Yusuf menyimpan pelajaran itu dalam kemana saja ia pergi, biar
dalam pengasingan sekalipun, sehingga pengetahuan akan janji Tuhan itu tetap
terpelihara oleh bangsa Israel.
Tiap-tiap keturunan orang Israel menyampaikan pula
segala pengajaran dan peraturan itu kepada keturunan yang berikut. Proses ini
berlangsung terus-menerus berates tahun lamanya. Di Israel, segala sesuatu
harus membantu dan bekerja sama untuk mendidik anak-anak dan orang dewasa agar
menjadi anggota-anggota persekutuan agama itu, yang insaf akan panggilannya dan
dengan segenap hatinya ingin mengabdi kepada Tuhan dalam segala gerak-gerik
hidup mereka.
Seluruh pendidikan itu bersifat agama. Pendidikan itu
mulai dari dalam masing-masing rumah-tangga dan diteruskan dalam kebaktian umum
dan di dalam pengajaran tentang Taurat Tuhan. Tuhan Allah sendirilah yang
merupakan pusat dan tujuan segala pendidikan masyarakat bangsa Israel, maka
sudah tentu segala hal-ihwal masyarakat umum pula dipelajari dan diatur dalam
terang penyataan Tuhan itu.
Dalam dunia Perjanjian Baru, Tuhan Yesus mengajar
dimana saja; di atas bukit, dari dalam perahu, di sisi orang sakit, di tepi
sumur, di rumah yang sederhana dan di rumah orang kaya, di depan
pembesar-pembesar agama dan pemerintah, bahkan sampai di kayu salib sekalipun.
Tuhan Yesus tidak memerlukan sekolah atau gedung yang tertentu. Tiap-tiap keadaan
dan pertemuan-Nya untuk memberitakan Firmn Allah[21].
Yang menjadi tujuan pengajaran Yesus bukanlah membahas
soal pokok agama dan susila secara ilmiah atau secara teori, namun untuk
melayani tiap-tiap manusia yang datang kepada-Nya. Banyak metode pengajaran
yang dipakai-Nya. Segala metode pengajaran itu masih relevansi hingga saat ini. Intisari
pengajaran Yesus yaitu, Kasih, Kebenaran, Pengampunan, Keselamatan, Mengasihi,
Mengampuni, dan akhir zaman.
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
DAN ANALISA DATA
A.
Profil Umum Lokasi Penelitian
1.
Sejarah
Singkat Desa Sather
Desa Sather
awalnya hanya ada dua kelompok yang tinggal di perbatasan desa Kilwat.
Dua kelompok tersebut terdiri dari dua marga yang di kenal sebagai tuan tanah (Leluhur)
yaitu marga Jamlaay dan Jamko. Marga Jamlaay tinggal di desa (Ehepu) sedangkan
marga Jamko tinggal di desa Puko. Dari kedua marga ini kemudian terbentuk pula
marga Tingubun[22].
600 tahun yang lalu di zaman batu, ada sebuah peristiwa terjadi di Waer.
Peristiwa ini kemudian menyebabkan 6 marga yang menumpang dua perahu diantaranya: Perahu Waerat marga Metubun, Dangeubun, dan Erubun dan perahu
Waerwab : Marga Dokainubun, Domakubun, Wansaubun, dan 2 perahu tersebut
memiliki nahkoda, salah satu nahkoda
bernama Sat (Kakak) dan satunya lagi
bernama Rumlus (Adik) meraka berla yar mencari daratan. Waktu mereka
tiba di daratan Nger, ada tuan tanah yang sementara mencari ikan dengan
menggunakan anyaman bambu sebagai alat
penangkap ikan. Waktu tuan tanah melihat kedua perahu tersebut, tuan tanah
memanggil mereka dan meminta mereka untuk tinggal bersama dan membentuk sebuah
kampung. Mereka meminta dalam bahasa Kei
dengan sebutan Her, kelompok Waerat di berikan tanggung jawab untuk mengatur
Pemerintah sedangkan kelompok Waerwab sebagai Kapitan, sedangkan marga tuan
tanah berperan dalam mengatur akta adat tanah dengan
demikian maka atas kesepakatan bersama mereka membentuk sebuah kampung atau
desa yang diberi nama Sather yang di beri arti; orang yang diminta datang
sampai sekarang kedua perahu tersebut telah menjadi dua buah batu karang besar
yang masih ada dipinggir pantai sampai
sekarang yang beri nama batu Waerat dan batu Waerwab.
Ada 2 bencana yang pernah dialami oleh masyarakat atau
jemaat Sather di antaranya:
a)
Pada tahun 1906 di sather
banyak orang terkena penyakit muntaber terbukti dengan ditemukan banyak
tengkorak di beberapa tempat. Menurut penjelasan orang tatua, sudah banyak
usaha yang di lakukan waktu itu oleh orang tatua, tetapi tidak berhasil. Aada
lagi yang dari desa Langgiar yang memeluk Agama Islam yang bisa menyembukan
tetapi dengan akta perjanjian adat,
bahwa semua orang Sather akan di Islamkan. Pengobatan itu berhasil di tengani
mereka, namun pada tahun 1908 perahu Injil mulai kuat lewat kehadiran seorang anak Negeri yang
merantau di Ambon, sehingga proses itu tidak di jalankan sampai sekarang. Pada
Tahun 1977 Sather kembali mengalami musibah muntaber dan 12 Orang meninggal
namun pada akhirya dapat di atasi.
b)
Pada Tahun 1911 terjadi
pertikaian antara desa Sather dengan desa Tutrean. Inilah awal pertikaian
tersebut dan juga pada Tahun 1953 dan Tahun 1963 dan pertikaian besar
besaran terjadi pada Tahun 1988, di mana
74 Rumah di desa Sather terbakar. Pada Tahun 1997 sudah mulai aman namun belum
total, sampai Tahun 1999 di saat pertikaian Islam Kristen maka membuat kondisi kedua desa ini menjadi aman sampai
sekarang.
2.
Letak
Geografis
Desa Sather terdapat di pulau kei Besar Selatan yang
ibu kota kecematannya adalah desa Weduar. Berbatasan secara geografisnya yakni:
1. Sebelah
utara berbatasan dengan desa Tutrean.
2. Sebelah
selatan berbatasan dengan desa Kilwat.
3. Sebelah
barat berbatasan dengan desa tamangil Nuhuten.
4. Sebelah
timur berbatasan dengan laut Arafura.
3.
Luas
Wilayah
Luas wilayah desa Sather secara keseluruhan 9000, luas
lahan pemukiman 1.300.000 m2, pekarangan 600.000 m2, prasarana umum 15.750 m2
dan lainya 2000 m2.
4.
Keadaan
Iklim.
Desa sather termasuk daerah tropis yang terletak di
sekitar garis katulistiwa iklimnya dikuasai oleh angin musim, yakni angin yang bertiup
saling berlawanan, setiap setengah tahun dengan arah yang berlawanan dalam musim timur
(April-Oktober) angin bertiup dari tenggara (daratan benua Australia) kearah
barat laut (Asia
Tengah) Selama
6 bulan ini,
mengalami musim kering atau musim kemarau. Sedangkan
dalam setengah tahun berikutnya (November-Maret ) angin bertiup dari barat laut
kearah Tenggara inilah musim barat dimana kepulauan Kei secara umum mengalami
musim hujan.
5.
Keadaan
Penduduk
Secara
umum, pertumbuhan penduduk kampung/ masyarakat kampung Sather selalu mengalami
perubahan (Dinamis) dari tahun ke tahun.
Hal ini disebebkan karena selama tahun berjalan, warga kampung Sather bertambah
dari luar (kawin masuk) maupun pulang dari rantauan. Tetapi juga melalui proses
kelahiran.
Disamping proses kelahiran dan arus masuk penduduk
yang ada, perlu diketahui bahwa proses-proses sosial dalam kaitan dengan
kehidupan masyarakat disana sangat nampak kental, hal ini dapat dilihat dengan
terjadinya perkawinan campur antara suku yang mendiami kampung Sather. Dari
perkawinan campur tersebut membuat sehingga proses adaptasi atau pembauran
semakin kental dalam artian melalui perbedaan-perbedaan yang ada telah
dipersatukan dengan ikatan perkawinan yang mempererat hubungan kekeluargaan
tersebut.
Jumlah keseluruhan penduduk desa Sather sebanyak 1606 jiwa yang terdiri
dari 828 laki-laki dan 776 perempuan, sedangkan jumlah KK 199.
Tabel. 01
Jumlah Penduduk Desa Sather Tahun 2017-2018
No
|
Kelompok Umur
|
Jenis Kelamin
|
Jumlah Jiwa
|
|
L
|
P
|
|||
1
|
0 – 15
|
234 Jiwa
|
255 Jiwa
|
487 Jiwa
|
2
|
16 – 55
|
515 Jiwa
|
471 Jiwa
|
986 Jiwa
|
3
|
Diatas 56 Tahun
|
79 Jiwa
|
50 Jiwa
|
129 Jiwa
|
Jumlah
|
828 Jiwa
|
776 Jiwa
|
1604 Jiwa
|
Sumber: Data
Statistika Jemaat Imanuel Sather 2017-2018
6.
Aspek
Sosio – Ekonomi
Secara Ekonomi, masyarakat Sather sebagian besar adalah
petani atau pekerja kebun. Mereka mengusahakan lahan dalam dusun milik pribadi
dengan menanam berbagai jenis tanaman. Baik tanaman umur jangka panjang maupun
jangka pendek. Tanaman umur jangka pendek seperti; embal, ubi-ubian, kumbili,
keladi, petatas, jagung dan pisang. Tanaman jangka panjang, seperti; kelapa,
pinang, rambuta, cengkeh, pala, pohon sagu dan lain sebagainya.
Kesemuanya ini memiliki nilai ekonomi yang cukup
tinggi, namun kenyataannya kebanyakan hanyalah sebatas konsumtif semata. Sebab
kurang dipasarkan. Hal ini disebabkan karena
semua masyarakat memiliki hasil kebun yang sama. Untuk dipasarkan, masyarakat harus
membawahnya ke Tual atau Kabupaten. Namun harus membutuhkan biaya yang cukup
banyak. Masyarakat Sather juga memiliki hasil laut yang cukup tinggi nilainya
yakni; Lola, teripang, batu laga, ikan, dan lainnya. Hasil ini diambil dalam kurun waktu panjang. Dalam
kenyataannya saat ini, banyak masyarakat pendapatan sehari-harinya bersumber dari usaha kios kecil
dan penjualan sopi yang diambil dari kelapa.
7.
Aspek
Budaya
Budaya yang sangat menonjol dalam kehidupan masyarakat Sather adalah, budaya gotong royong yang dikenal
dengan nama budaya Maren. Dimana, masyarakat saling membantu dalam pekerjaan
apapun. Selain itu, budaya saling menyapa dan saling menghormati antara sesama.
Ini sangat memperlihatkan hubungan kekeluargaan atau “Ain Ni Ain”.
8.
Aspek
Kepercayaan
Masyarakat Sather menganut Agama Kristen Protestan.
Bagi mereka, hanyalah Yesus Kristus yang
disembah sebagai Juruselamat. Oleh karena itu, sikap intervensi dari
suku dan asal daerah lain, tidak mampu mempengaruhi kepercayaan mereka. Hal ini
terbukti dari kerja sama semua warga dalam program baik program pemerintah
kampung maupun program gereja menuju pembangunan manusia yang utuh. Baik pembangunan
mental, spiritual, jasmani dan rohani dalam membangun warga menuju kehidupan
yang damai dan sejahtera.
9.
Gambaran
Khusus Lokasi Penelitian
a.
Sejarah
Masuknya Injil di Jemaat GPM Imanuel Sather.
Sebelum Injil dikenal oleh masyarakat desa Sather, maka
mula-mula masyarakat masih menganut Agama suku dengan menyakini sesuatu yang
memiliki kekuatan supranatural atau kekuatan-kekuatan tertinggi lewat benda
atau pohon- pohon besar. Inilah yang di sebut sebagai kepercayaan animisme dan
dinamisme[23].
Walaupun demikian, mereka bisa membangun pola
kehidupan yang baik antara satu dengan yang lain dengan hidup berdamai dan berdampingan
dan saling menyelesaikan pekerjaan yang berat. Hidup kekerabatan ini sangat
kuat sehingga mampu memupuk kebersamaan antara mereka. Conon ceritra, ada seorang
anak yang bernama ( woe ) anak dari Faken Erubun dan Islar Domakubun. Ia ingin
merantau mencari pengalaman dengan bermodal keberanian dan berbekal Enbal, ia
pun berpamitan kepada orang tuanya dan akhirnya ia pun melakukan perjalanan, mengarungi
lautan, walaupun di terpa ombak dan badai tetapi ia terus berlayar dengan
sasaran ke Ambon.
Pada Tahun 1907 ia kembali ke kampung halaman Sather, dengan
berbagai pengalaman yang di peroleh, ia pun menceritakan kehidupan orang Ambon dan sekaligus memperkenalkan
keyakinan baru yang di terimahnya yaitu,
keyakinannya pada Yesus Kristus.
Pada tanggl 12 Februari 1908 terjadi pembaptisan
pertama di desa Sather yang dilakukan
yaitu, Woi yang di perkirahkan
saat itu berusia 25 Tahun dan yang membaptisnya yaitu Penginjil S.Taluta, dan
orang tua saksi adalah S.Taluta dan
istrinya P. Hehanussa
dengan nama baptisnya adalah Roberth, Erubun. Sejak saat itupun Roberth Erubun
berkeinginan dan dengan semagat ia terus membangun misinya dengan merangkul, membimbing,
mengarahkan dan terus memperkenalkan
Yesus Kristus kepada semua masyarakat. Semua niat hati dengan keyakinan
bapak Roberth Erubun, ternyata merupakan bagian dari rencana Tuhan yang pada
akhirya mulai diterimah oleh basudaranya dan dibentuklah persekutuan untuk
beribadah. Cara menghimpun mereka adalah dengan meniup kuli bia. Lewat usaha
keras dan atas kuasa Tuhan, pada tahun 1909 terjadi baptisan kedua
tepatnya Tanggal 20 November 1909 dibaptislah
(7) orang dan pada tanggal 21
Desember berjumlah (22) orang. Kedua
baptisan ini di layani oleh Penginjil Y. Tamaela dan proses Penginjila inipun terus
dilakukan sampai sekarang. Semua masyarakat Sather pada akhirya berpegang
atau berkeyakinan kepada Yesus Kristus. Jemaat ini mulai menata diri dan
melembangan terus sebagai jemaat GPM
yang mandiri dan tidak ada gereja denominasi lain dalam jemaat. [24]
Jemaat Sather berdasarkan uraian di atas maka
perkembangan Injil masuk di jemaat atau masyarakat Sather dapat berjalan dengan
baik di mana di antaranya oleh para Penginjil atau Pendeta yang betul-betul
bertugas dan mengabdi dengan jujur, tulus, iklas dan kesetiaan dalam Pekebaran
Injil sejak Tahun 1909-2017 namun dalam perkembangan di tahun dalam saat ini
penulis berada di lapangan jumlah Pendeta
dan Pengijil yang pernah bertugas di jemaat GPM
Sather dari Tahun 1909-2017 namun
dalam perkembangan di tahun dan sanpai saat ini penulis berada di lapangan, jumlah Pendeta dan Penginjil yang pernah bertugas di jemaat GPM Sather dari
tahun 1909-2017 berjumlah 33 orang.
Tabel.02
Nama-nama Penginjil dan Pendeta Yang Bertugas Di
Jemaat GPM Imanuel Sather Sejak Tahun 1909-2017
No
|
Nama
Penginjil dan Pendeta
|
Tahun
Pengabdian
|
1
|
Penginjil,
Y. Tamaela
|
1909-1911
|
2
|
Penginjil,
Y. Sahuburua
|
1911-1917
|
3
|
Penginjil, N.
Lawalata
|
1917-1922
|
4
|
Penginjil,
Y. Nirahuwa
|
1922-1924
|
5
|
Penginjil,
N. Tuwahatu
|
1924-1927
|
6
|
Penginjil,
A. Piyauli
|
1927-1935
|
7
|
Penginjil,
B. Wansaubun
|
1935-1939
|
8
|
Penginjil,
G. Songyanan
|
1939-1946
|
9
|
Penginjil,
W. Domakubun
|
1946-1952
|
10
|
Penginjil,
Y. Balubun
|
1952-1954
|
11
|
Penginjil, S. Makatita
|
1954-1956
|
12
|
Penginjil,
Y. Batyanan
|
1956-1958
|
13
|
Penginjil,
E. Retraubun
|
1958-1959
|
14
|
Penginjil,
F. Beruatwarin
|
1959-1961
|
15
|
Penginjil,
I. Tingubun
|
1961-1962
|
16
|
Penginjil,
P. Hukubun
|
1962-1968
|
17
|
Penginjil,
P. Domakubun
|
1968-1969
|
18
|
Penginjil,
G. Hurulean
|
1969-1972
|
19
|
Penginjil,
A. Metubun
|
1972-1976
|
20
|
Penginjil,
E. Dangeubun
|
1976-1978
|
21
|
Penginjil,
G. Yongnain
|
1978-1979
|
22
|
Penginjil,
A. Erubun
|
1979-1983
|
23
|
Penginjil,
O. Mose
|
1983-1983
|
24
|
Penginjil,
E. Metubun
|
1990-1995
|
25
|
Penginjil,
A. Erubun
|
1995 –
2001
|
26
|
Pendeta,
Nestoris. F. Sabono. SM.Th
|
1972 –
1976
|
27
|
Pendeta,
Welhelmina. Katabal
|
1972-1976
|
28
|
Pendeta,
Samuel 0. Suratratan, S.Th
|
1995-2001
|
29
|
Pendeta,
Herson. G. Habel, S.Th
|
2001-2013
|
30
|
Pendeta,
Yoland Y. Tahalelu, S.Si
|
2006-2013
|
31
|
Pendeta,
Elvira R. Sapulete, M.Si
|
2013-2017
|
32
|
Pendeta,
Lisa. H Lessil, M.Si
|
2017
|
33
|
Pendeta,
Chirstian. Aponno, S.Si
|
2017
|
Data
Jemaat GMP Imanuel Sather Tahun 2017-2018
B. Analisa Data dan Pembahasan
Pada bagian ini
penulis akan mengkaji dan menganalisa data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan, tentang “ Sasi Gereja” ( Studi PAK di Jemaat GPM
Imanuel Sather). Untuk lebih jelas, maka penulis akan memaparkan data dan
analisanya berdasarkan lokasi penelitian yaitu; Jemaat GPM IManuel Sather:
1.
Mendiskripsikan Bagaimana Pemahaman Jemaat GPM Sather Tentang Sasi Gereja.
Sasi merupakan sebuah budaya kearifan lokal yang
dipergunakan oleh masyarakat adat di Kei
untuk melindungi dan menjaga dusun atau petuanan yang dimilikinya.
Sesuai
dengan pertanyaan di atas, maka menurut;
Bpk,
W. D. Mengatakan;
“ Sasi gereja adalah[25]
tanda larangan hukum adat yang biasa dipakai adalah kain hitam dan kayu yang
dipakai sebagai tiang yang perkembangannya, setelah Gereja Protestan Maluku
(GPM) mulai berdiri pada Tahun 1935. Dengan Ketua Sinode GPM yang pertama
adalah Pendeta J. E. Staap”.
Dari Pendapat Bpk W. D. di atas dapat disimpulkan bahwa,
sejak berdirinya Gereja Protestan Maluku Tahun 1935, sasi gereja sudah mulai
dipakai yang ditandai dengan kain hitam yang ditancapkan pada tiang kayu. Yang
perkebangannya hingga sekarang.
Bpk,
A. W. Menurutnya;
“ Sasi gereja merupakan sebuah larangan
yang didasarkan pada Firman Tuhan yang sudah diatur dalam liturgis. Tujuannya
untuk melindungi hasil dusun berupa kelapa, buah-buahan ataupun hasil lainya.
Jadi siapapun yang mencoba untuk melanggar, maka resikonya ditanggung sendiri”[26].
Selain itu, menurut Bpk, Y. M,
“ Sasi gereja itu adalah[27]
sasi yang benar-benar kuat, karna sudah di doakan dan ditabiskan oleh pendeta
yang disaksikan langsung oleh semua barisan pelayan maupun anggota jemaat,
sehingga perlu kesadaran dari warga jemaat sendiri bahwa tujuan sasi itu untuk
apa. Kalau memang tujuannya untuk melindungi hasil kebun maupun dusun kelapa
dan sebagainya, maka jangan perna kita melanggar karna, hukumannya bukan dari
manusia, tapi dari Tuhan”.
Dari hasil pendapat Bapak A. W dan Bapak Y. M di atas,
maka dapat saya simpulkan bahwa, sasi
gereja merupakan sebuah tanda larangan yang benar-benar dilakukan untuk
melindungi apa yang menjdi milik seseorang baik itu, hasil kebun, maupun dusun
yang berupa kelapa, buah-buahan, tanaman jangka pendek dan juga jangka panjang
lainnya. Yang didasarkan dengan doa yang sudah dan telah diatur dalam liturgis
ibadah minggu. Maka dengan demikian, perlu kesadaran warga jemaat untuk
menaatinya. Tetapi juga, memiliki kesadaran membedakan mana yang menjadi milik
orang lain dan mana yang menjadi milik kepunyaanya sendiri. Seperti yang telah
dikisahkan dalam hukum Larvul Ngabal “ It
did intub vo it did, herir intub vo herir ” ( Milik kita, tetap miliki kita
dan milik orang lain, tetap milik orang lain). Juga bunyi hukum kedelapan
“Jangan mencuri” dan bunyi hukum kesepuluh “Jangan mengingini barang milik
orang lain”.
2.
Makna Sasi Gereja Bagi Jemaat GPM Sather
Baik gereja maupun adat, sama-sama menjaga dan
memelihara Karya Penciptaan Allah. Sesuai dengan yang diperintahkan Allah dalam
Kitab Kejadian 1:26. Dimana, manusia diberi kuasa untuk berkuasa atas bumi.
Maka sudah tentu, manusia perlu menjaga, merawat dan memelihara segala
ciptaan-Nya.
Bpk,
A D. Menurutnya;
“ Makna dari sasi gereja itu sendiri, agar
orang tidak bebas untuk mengambil hak milik orang lain dengan bebas atau
sembarangan. Andai saja, tidak ada sasi gereja maka, tatanan hidup di jemaat
atau masyarakat Sather akan hancur. Dewasa ini, perkembangan ilmu dan teknologi
semakin maju dengan pesat, yang dapat mempengaruhi karakter seseorang jadi,
praktek sasi di jemaat ini sangat penting. Dan kalau tidak ada unsur gereja
yang mengikat, maka masyarakat dengan mudahnya melanggar karna kebanyakan
masyarakat tidak lagi takut pada adat[28]”.
Pendapat Bapak, A. D di atas, dapat disimpulkan bahwa,
Makna dari sasi geraja adalah untuk melindungi apa yang menjadi hak milik
seseorang. Sehingga orang lain tidak dengan bebas mengambilnya dengan
sembarangan. Seandainya sasi tidak diberlakukan di jemaat Sather, maka tatanan
hidup bermasyarakat maupun berjemaat akan hancur. Sebab perkembangan ilmu dan
teknologi semakin maju dengan pesat, turut mempengaruhi karakter seseorang
sehingga kebanyakan masyarakat tidak lagi takut pada adat
Menurut
Bpk, M. T;
“ Sasi gereja sebenarnya memberikan
pemaknaan bahwa, gereja ada dan sementara bergumul ditengah-tengah dunia yang
memang diperhadapkan dengan berbagai dinamika-dinamika hidup. Salah satunya
adalah budaya kearifan lokal yang merupakan identitas kepribumian setiap anak
adat. Maka gereja perlu bekerja sama
dengan adat untuk sama-sama melihat Karya Allah ditengah-tengah dunia ini.
Seperti yang kita sama-sama ketahui bersama dalam Alkitab, Allah memberikan
perintah kepada manusia untuk menjaga, merawat dan melindungi alam yang kita
huni ini. Maka secara tidak langsung, kerja sama ini telah memenuhi perintah
tadi. Hal ini yang perlu gereja dan adat perlu mengedepankan terus menerus
dengan tetap berpegang pada kebenaraan Firman Allah sebagai pedoman bagi kita”[29].
Dari apa yang disampaikan oleh Bapak, M. T. Di atas,
dapat saya simpulkan bahwa, gereja memeiliki peranan yanng sangat untuk
menyikapi setiap dinamika hidup yang dihadapi oleh masyarakat. Gereja juga
perlu membangun mitra dengan pihak adat guna bersama-sama melindungi Karya
Penciptaan Allah di tengah-tengah dunia, seperti yang diperintahkan oleh Allah
yaitu, menjaga, merawat dan melindungi. Dengan demikian, kerja sama itu tellah
memenuhi perintah tersebut. Maka hal ini terus-menerus harus dikedepankan
dengan tetap berpedoman pada kebenaran Firman Allah.
Bpk,
L. T. Menurutnya;
“ Menurut saya, makna sasi gereja bagi
masyarakat atau jemaat Sather ini sendiri untuk, menyadarkan kita bahwa,
sesuatu yang milik orang lain, janganlah kita ambil. Sebab sudah ada larangan.
Larangan itu adalah kerja sama antara adat dan gereja yang telah diatur dalam
liturgis yang kemudian di doakan oleh pendeta berdasarkan Firman Tuhan. Oleh sebab itu, masing-masing kita harus
menaati itu supaya tetap terciptanya kehidupan yang damai. Sebab kita tidak taati,
maka akan berdampak besar bagi diri kita sendiri”.
Penjelasan Bapak, L. T di atas, dapat disimpulkan
bahwa, Makna sasi gereja untuk jemaat Sather adalah untuk memberikan kesadaran
bagi setiap orang, apa yang milik orang lain jangan diambil secara sembarangan.
Sebab sudah ada larangan yang telah dibuat atau disepakati baik oleh pihak
gereja maupun pihak adat. Yang telah diatur dalam liturgis dalam ibadah minggu
dan sudah di doakan oleh pendeta. Oleh karena itu, bila ada yangmelanggar maka,
akan berdampak besar pada dirinya sendiri.
Bpk,
Y. D. Menurutnya:
“ Secara Iman, kita percaya bahawa, Tuhan
sudah memerintahkan untuk setiap manusia untuk tidak boleh mencuri, dan
mengingini barang milik orang lain. Sisi adat juga, melarang hal yang sama.
Berarti kembali saja kepada setiap kita, bagaimana memaknai sasi itu sendiri.
Kalau memang itu untuk sesuatu tujuan yang baik, mengapa mesti kita langgar,
tapi kalau untuk tujuanya baik, ya sudah, mari kita sama-sama saling menjaga
dan melestarikan akan. Supaya tidak boleh tercontreng baik sisi gereja maupun
sisi adat di mata umum[30]”.
Pendapat Bapak, Y. D. Di atas, dapat saya simpulkan, bunyi
hukum Tuhan, jangan mencuri dan jangan mengingini barang milik orang lain.
Begitu pula dengan larangan adat, jangan mencuri atau mengambil miliknya orang
lain. Dengan demikian, setiap perlu menyadari dan sudah barang tentu tau mana
yang baik dan mana yang buruk. Maka perlulah kerja sama semua pihak untuk
menjaga dan melestarikan alam yang merupakan Karya Ciptaan Allah.
Bpk,
N. Y. Menurutnya;
“ Sasi gereja ini maknanya sangat besar bagi
kita dimana, dapat menyadarkan kita bahwa, sesuatu yang bukan milik kita,
jangan kita ambil. Hal ini sebenarnya sudah memenuhi hukum Tuhan dimana, ada perintah Jangan Mencuri dan Mengingini
Milik Orang Lain. Tapi memang anak-anak
mudah skarang ini, kurang memahami hal ini. Sehingga bertindak sesuka hati
akhirnya tindakan itu melanggar hukum agama maupun hukum adat. Oleh sebab itu,
ini pekerjaan rumah bagi gereja dan pihak adat untuk terus memberikan
pencerahan dan pemahaman yang baik bagi kaum mudi-mudi dewasa ini. Kalau kedua
pihak ini tinggal diam, maka jangan
salah paham ketika kondisi akan semakin parah. Kondisi para yang saya maksudkan
adalah, tindakan pengrusakan hutan, dusun, dan pencurian akan semakin meningkat[31]”.
Pendapat Bapak, N. Y. di atas dapat disimpulkan bahwa,
dalam sasi gereja ini, tersirat makna teologis yang sangat mendalam. Dimana,
gereja dan adat sama-sama melaksanakan perintah Tuhan yakni, menjaga dan
melestarikan alam. Tetapi juga, dapat memberikan kesedaran bagi setiap jemaat
untuk mengerti dan melaksanakan perintah Tuhan yaitu ; “Jangan Mencuri dan
Jangan Mengingini Barang Milik Orang Lain”. Pihak gereja dan pihak adat, terus
memberikan pemahaman dan pencerahan yang baik bagi setiap warga, teristimewa
bagi kaum muda-mudi sehingga bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah atau norma yang
berlaku dalam kehidupan bermasyarakat maupun berjemaat. Apabila kondisi
sebaliknya, gereja dan adat berdiam diri, maka ancaman yang akan muncul adalah
tindakan yang pada prinsipnya melanggar atau merusak tatanan hidup. Hubungan
kerja sama antara gereja dan adat ini terus dipelihara dengan baik agar
sama-sama memberikan pemahaman yang baik kepada setiap warga gereja.
Selebihnya, dapat menyatakan Karya-karya Penciptaan Allah.
3.
Faktor Yang Mempengaruhi
Pelaksanaan Sasi Gereja Di Jemaat GMP Sather.
Proses pelaksanaan sasi gereja sendiri dipengaruhi
oleh faktor eksternal maupun internal. Namun demikian, tetap dilaksanakan
sebagaimana yang sudah disepakati baik oleh pihak gereja maupun pihak adat.
Menurut
Bpk, J. D.
“ Awalnya, masyarakat melaksanaakan sasi
sesuai dengan tradisi atau adat dan budaya lokal yang ada untuk melindungi
dusun-dusun atau hasil kebun dan sebagainya. Dengan berjalanya waktu, sasi ini tidak lagi ditaati. Berbagai musibah
telah menimpah desa Sather sendiri karna pelanggaran terhadap sasi adat ini.
kemudian sasi ini dibawah kedalam gereja
untuk di doakan agar lebih memperkuat sebab ada unsur Firman Allah. Tetapi ada
sedikit perdebatan dan penolakan oleh beberapa pihak, karena mereka berfikir
bahwa, dengan adanya campur tangan gereja, maka budaya lokal akan hilang sebab
semuanya di dominasi oleh gereja. Tapi karna terus diberikan pemahaman yang
baik bahwa, campur tangan gereja ini tidak merombak budaya lokal ini dalam
bentuk apapun. Justru sebaliknya dapat memberikan titik pencerahan yang baik.
Maka akhirnya kesepakatanpun muncul untuk diputuskan sasi gereja yang dipakai
hingga sekarang ini[32]”.
Menurut penjelasan Bapak, J.D. diatas dapat saya
simpulkan, adat lokal yang digunakan oleh masyarakat untuk melindungi apa yang
menjadi hak miliknya, tidak mampu membendung keinginan mereka. Sebab
perkembangan waktu membuat adat semakin terkontaminasi (tercemarkan). Sehingga kerja
sama antara gereja dan adat, semakin memperkuat sasi tersebut sebab ada unsur
Firman Tuhan yang dapat menyadarkan warga jemaat. Tradisi yang dimiliki oleh
masyarakat lokal, tidak dapat dihilangkan ketika kerja sama antara gereja dan
adat ini terjadi, justru gereja hadir untuk memperkuat tradisi tersebut.
Terbukti hingga saat ini, sasi terus dipergunakan.
Bpk, O. Y.
Menurutnya;
“Gereja mengalami kendala karna kesadaran
jemaat terhadap pelaksanaan sasi ini, sangat kurang. Yang mana, jemaat berfikir
bahwa pelaksanaan sasi ini hanyalah sebuah slogan yang tidak memiliki arti
apa-apa. Jemaat sendiripun, tidak mengerti apa makna dibalik sasi gereja ini.
Sebab selama ini gereja maupun adat tidak memberikan ruang penjelasan yang baik
kepada setiap warga jemaat[33]”.
Bpk,
M. D. Menurutnya;
“ Pelanggaran dan tindakan semena-mena
terhadap dusun atau hasil hutan ini dikarena, tidak ada kesadaran dan pengetahuan
dari masyarakat bagaimana tujuan dari proses pelaksanaan sasi gereja itu. Ini
akibat dari tidak ada penjelasan yang baik dari pihak-pihak berwajib baik itu
gereja maupun adat bahwa, prooses sasi ini, untuk itu dan untuk ini. Andaikata
penjelasan itu ada, maka saya pikir, potensi pelanggaran itu semakin kecil karna
semua orang memiliki kesadaran yang mendalam terhadap sasi ini. Jadi menurut
saya, ini tugas besar bagi pihak adat maupun pihak gereja untuk memberikan
pemahaman yang baik bagi setiap warga jemaat. Kalau hal ini dilakukan, saya
yakin sungguh kalau semuanya akan berjalan dengan lancar[34]”.
Dari penjelasan kedua Bapak tersebut di atas dapat
saya simpulkan bahwa, kurangnya pemahaman jemaat terhadap makna sasi ini
dikarenakan, pihak gereja maupun adat tidak memberikan penjelasan yang baik
bagi setiap warga jemaat tentang bagaimana tujuan dari sasi tersebut. Dengan
demikian, gereja dan pihak adat perlu memberikan penjelasan yang baik bagi
setiap warga jemaat.
Bpk,
L.T. Menurutnya;
“selain gereja menjalankan tugasnya,
adatpun juga harus menjalankan tugas. Sehingga peluang pelanggaran-pelanggaran
di masyarakat berkurang. Sebab pantauan saya selama ini, pelaksanaan sasi
gereja itu sendiri tidak ada hambatan karna sudah diatur dalam liturgis, hanya
saja yang menjadi faktor itu, selesai pelaksanaan di gereja, terjadi pelanggaran
terhadap sasi itu sendiri. Lalu kira-kira kita mau salahkan siapa? Ini berarti,
menjadi tugas kita bersama- bukan hanya gereja dan pihak adat, tetapi juga
masyarakat untuk tetap mengawal dan saling mengingatkan antara satu dengan yang
lain. Jadi menurut saya intinya, faktor penghambat itu datang kalau masyarakat
atau jemaat tidak memiliki pemahaman yang baik. Kalau masyarakat atau jemaat
sudah memahami dan mengerti dengan baik, maka peluang hambatan itu tidak ada
dalam proses pelaksanaan sasi itu sendiri [35]”.
Berdasarkan
pendapat di atas dapat saya simpulkan bahwa, faktor penghambat dalam
proses pelaksanaan sasi gereja ini adalah oleh pihak gereja sendiri. Dimana,
kurang memberikan pemahaman yang baik kepada warga jemaat tentang makna atau
tujuan dari proses pelaksanaan sasi ini. Sehingga proses pelaksanaan ini seakan
sebatas sebuah slogan tanpa pemaknaan apapun. Faktor gesekan antara paham adat
dan gereja tidak begitu berpengaruh sebab, akhirnya dapat disepakati dan dapat
dilaksanakan hingga saat ini. Begitupun dengan pihak lembaga adat. Yang juga
menjadi salah satu faktor penghambat dalam proses pelaksanaan ini. Sebab tidak
memainkan pernan yang cukup kuat untuk memberikn kesadaran penuh kepada
masyarakat. Sehingga masyarakat miskin pemahaman terhadap tujun dan makna dari
proses pelaksanaan dari sasi gereja itu sendiri.
4.
Bagaimana
Proses Pelaksanaan Sasi Gereja Jemaat GPM Sather.
Tugas utama dari
setiap orang percaya adalah menjadi pihak yang wajib mengkomunikasikan dan
mendemonstrasikan akta Firman di dalam kenyataan hidupnya. Yang mencerminkan
kebenaran Firman Allah. Gereja Protestan Maluku pada tahun 1962, telah
melakukan akta sasi gereja. Penginjil pertama yang melaksanakan sasi gereja di
jemaat GPM Imanuel Sather adalah Penginijil, P. Hukubun yang didasarkan pada
Keluaran 20.15-17. Dengan tujuan, menjaga, memelihara dan melindungi hak-hak
milik sesama.
Berdasarkan pertanyaan di atas maka menurut;
Bpk, Y. D ;
“Dalam proses pelaksanaan sasi gereja ini, ada
beberapa tata cara pelaksanaan antara lain[36]:
(1). Pemilik membawah seberapa atau sejumlah uang untuk
nasar akta sasi.
(2). Di wajibkan kepada
pemilik untuk membawah hasil atau beberapa buah sebagai simbol sasi. Jika sasi
dusun kelapa maka di bawah pada saat jam ibadah saat itu 2 buah kelapa,
sebaliknya kebun keladi, ubi, embal
seberapa buah di haruskan untuk bawah untuk disasikan.
(3). Pelaksanaan sasi
gereja dilakukan pada saat ibadah minggu dan pada pertengahan Pelayanan Firman
akan menjalankan akta sasi dan pemilik
berdiri di depan altar membawah nasar
dan kelapa atau hasil kebun lainya di bawah ke depan altar sesudah doa khusus maka pemilik memasuki
nasar pada peti derma.
Jika saat terasa bahwa hasil dari dusun
kelapa atau kebun sudah cukup memberikan hasil yang banyak maka akan di buat
akta sasi buka dengan persyaratan seperti pada awal pembukaan sasi
Bpk, Y. M. Menurutnya;
“ Proses
pelaksanaan sasi ini didasarkan pada liturgis yang sudah diatur oleh gereja.
Jadi secara teknis, kita berjalan sesuai dengan apa yang menjadi petunjuk yang
sudah ada[37]”.
Dari Penjelasan Bapak, Y.D. dan Bapak, Y.M. Di atas
dapat disimpulkan, dalam pelaksanaan sasi gereja ini, ada langkah-langkah yang
sudah diatur oleh pihak gereja dan adat, mulai dari proses pelaksanaan maupun
sanksi. Sehingga warga jemaat hanya mengikuti apa yang sudah diatur.
Menurut Bpk, Y. M,
“ Bagi
orang yang mau buat sasi untuk melindungi hasil dusun kelapa, tinggal dia bawah
kelapa satu buah yang dibungkus dengan kantong plastik hitam dengan uang nasar
ke gereja sebelum satu minggu kemudian lapor untuk barisan pelayan. Supaya
dalam ibadah minggu diwartakan dan diikatkan dan di doakan oleh pendeta yang bertugas.
Kemudian selesai itu, pemiliknya membawanya ke dusun kelapa untuk ditaruh
sebagai tanda bahwa, dusun kelapa tersebut disasikan. Jadi siapa yang berani
untuk melanggar, maka dia akan berurusan dengan Tuhan dan leluhur[38]”.
Bpk, A.M. Menurutnya;
“ Proses
pelaksanaan sasi gereja ini sendiri sudah disepakati dan telah diatur dalam
liturgis ibadah minggu. Jadi bagi masyarakat yang mau untuk kasih sasi dusun
kelapa atau hasil lainya, tinggal ia kerja sama dengan pihak pelayan lalu
mengikuti saja apa yang diarahkan oleh para pelayan dalam hal ini pendeta.
Selesai dari proses gereja, iapun sudah tau kemana ia membawahnya. Jadi bagi
saya, proses pelaksanaan sasi ini turun-temurun sejak leluhur (ubnis) hingga
saat ini, tidak perna diubah dalam bentuk apapun[39]”.
Bpk, A. W.
Menurutnya,
“
Pelaksanaan sasi gereja di negeri dan jemaat ini, turun-temurun masih tetap
sama. Karna sudah diatur oleh gereja. Sehingga masyarakat atau jemaat tidak
bisa seenaknya melakukan sasi gereja semau-maunya. Yang prosesnya hasil yang
mau dikasih sasi itu, dibawah ke gereja jauh-jauh hari untuk dilaporkan ke
majelis jemaat. Kalau sudah sampai ke majelis jemaat, maka prosesnya sesuai
dengan yang diatur dalam liruturgis ibadah minggu. Proses pembukaan sasipun
sama dilakukan dengan awal penutupan sasi[40]”.
Dari penjelasan
ketiga Bapak di atas, dapat disimpulkan, setiap warga jemaat yang mau
melindungi hasil dusun, tinggal mengikuti langkah-langkah yang sudah ditentukan
oleh pihak gereja dengan membawah serta nacar pergumulan. Jika proses
pelaksanaan yang dilakukan oleh gereja melalui ibadah minggu yang telah diatur
dalam liturgis selesai, maka pemilik harus membawahnya ke dusun kelapa dan
ditancapkan pada tiang kayu. Hal ini pertanda bahwa dusun tersebut telah
disasikan. Pelanggaran atas hal ini, maka akan mendapat hukuman yang setimpal.
BAB IV
REFLEKSI TEOLOGIS
A.
Hubungan Iman Kristen Terhadap Kebudayaan
a.
Tugas Manusia dan Kebudayaan
Dalam Kejadian 1 : 28 dikatakan “ Allah memberkati mereka,
lalu Allah berfirman kepada mereka : “ beranak cuculah dan bertambah banyak,
penuhilah bumi dan taklukanlah itu”. Kata “takklukan: dalam bahasa ibrani
diambil dari kata “kabash”. Istilah ini dipakai sekitar lima belas kali dalam
perjanjian lama yang berarti menundukan lawan, atau menaklukkan musuh. Untuk
menundukan itu membutuhkan kekuatan Implikasi yang harus dipikirkan, jika hanya
sampai disini ialah tindakan sewenang – wenang manusia terhadap alam, sehingga
mengakibatkan kerusakan lingkungan[41].
Namun menaklukan alam, sebenarnya Adam harus memikitrkan, mengerjakan,
mengusahakan, mengelola alam ini dan melestarikannya.
Mengalahkan bukan membinasakan, melainkan menjadikan alam
bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta mengusahakan kesejahteraan
dirinya dan alam semesta. Manusia mengemangkan cipta dan karsanya bagi
kesejahteraan hidupnya. Inilah mandat yang dipercayakan Allah kepada manusia.
b.
Tujuan kebudayaan.
Kebudayaan yang dinyatakan dalam Alkitab, pada mulanya dan
seharusnya bertujuan untuk memuliakan Allah (Vertikal). Apakah semua
manifestasi kebudayaan di semua aktivitas manusia digunakan untuk memuliakan
Allah ? apakah seni suara, musik , lukis, ukir, asitektur, teknik, ilmu
pengetahuan, dan semua manifestasi kebudayaan pada masa kini tertuju untuk
memuliakan Allah ? ataukah segala kemampuan dikerahkan untuk mendirikan menara
babel ? Tujuan selanjutnya untuk meningkatkan kehidupan manusia (Horizontal).
Hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa kebudayaan yang diberikan Allah untuk
meningkatkan, mempermudah manusia untuk melakasanakan pekerjaannya[42]. Contoh konkrit, manusia ingin
bekerja disawah hanya mengandalkan cangkul tetapi di zaman modern ini manusia
dipermudah dengan kehadiran alat – alat pertanian yang serba modern. Kenyataan
yang kita lihat banyak sekali hasil kebudayaan yang dipergunakan bukan untuk
mengasihi Allah dan sesama manusia, melainkan untuk penyembahan berhala dan
kebanggaan atau ambisi diri.
c.
Kuasa Dosa dan iblis dalam Kebudayaan
Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, kebudayaan telah
menjadi bagian integral keberdosaan manusia. Manusia yang mengelola kebudayaan
adalah manusia yang berdosa, maka kebudayaan pun iikut jatuh ke dalam dosa.
Sehingga manusia dapat mengarahkan kebudayaan itu bukan untuk memuliakan Allah.
Manusia dapat menciptakn kebudayaan untuk menjadikan hasil
kebudayaan sabagai berhala misalnya uang. Dalam kenyataannya tidak sedikit
orang yang menganggap uang adalah segala- galanya. Mereka melakukan dan
menghalalkan segala cara demi mendapatkan uang. Uang sudah menggantikan Tuhan
bagi dirinya.
Bandingkan 1 Timotius 6 : 10 “Karena akar segala kejahatan
ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang
dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka”.
Ada 5 macam sikap umat Kristien terhadap kebudayaan, yakni[43]:
1.
Antagonistis atau oposisi.
Sikap antagonistis atau oposisi terhadap kebudayaan ialah
sikap yang melihat pertentangan yang tidak terdamaikan antara agama Kristen dan
kebudayaan. Sebab akibatnya, sikap ini menolak dan menyingkirkan kebudayaan
pada semua ungkapannya. Gereja dan umat beriman memang harus berkata tidak atau
menolak ungkapan kebudayaan tertentu, yakni kebudayaan yang ;
a.
MenghinaTuhan
b.
Menyembah berhala.
c.
Yang merusak kemanusiaan.
d.
Akomodasi atau persetujuan.
Kebalikan dari sikap antagonis adalah mengakomodasi,
menyetujui atau menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang ada. Terjadilah
sinkritisme. Salah satu sikap demikian ditujukan untuk membawa orang pada cara
berfikir, cara hidup dan berkomunikasi atau berhubungan dengan orang lain
sedemikian rupa sehingga seolah-olah semua agama sama saja.
2.
Dominasi atau sintesis
Dalam gereja yang mendasari ajarannya pada teologi Thomas
Aquinas. Ia menganggap bahwa sekalipun kejatuhan manusia kedalam dosa telah
membuat citra ilahinya merosot pada dasarnya manusia tidak jatuh total, manusia
masih memiliki kehendak bebas yang mandiri. Itulah sebabnya didalam menghadapi
kebudayaan kafir sekalipun, umat bisa melakukan akomodasi secara penuh dan
menjadikan kebudayaan kafir itu sebagai bagian imam, namun kebudayaan itu
disempurnakan dan disucikan oleh sakramen yang menjadi anugrah Ilahi.
3.
Dualisme atau pengutuban.
Yang dimaksud dengan sikap dualistis atau pengutuban
terhadap kebudayaan ialah pendirian yang hendak memisahakan iman dari
kebudayaan ialah ; terdapat pada kehidupan kaum beriman kepercayaan kepada
karya Allah kepada TuhanYesus Kristus, namun manusia tetap berdiri didalam kebudayaan
kafir. Peran penebusan Tuhan Yesus yang mengubah hati manusia berdosa menjadi
manusia yang hidup didalam iman tidak lagi berarti menghadapi kebudayaan.
4.
Pengudusan atau pertobatan.
Sikap pengudusan adalah sikap yang tidak menolak, namun
tidak juga menerima, tetapi sikap keyakinan yang teguh bahwa kejatuhan manusia
kedalam dosa tidak menghilangkan kasih Allah atas manusia. Manusia dapat
menerima kebudayaan selama hasil hasil itu memuliakan Allah, tidak menyembah
berhala, mengasihi sesama dan kemanusiaan. Sebaliknya, bila kebudayaan itu
memenuhi salah satu atau keempat sikap budaya yang salah satu itu, umat beriman
harus menggunakan firman Tuhan untuk menguduskan kebudayaan itu, sehingga
terjadi transformasi budaya kearah budaya yang, memuliakan Allah.
B.
Bagaimana sikap kita
terhadap kebudayaan?
Ada dua sikap yang harus dikembangkan oleh orang Kristen dalam
menghadapi kebudayaan:
Pertama, memeriksa kebudayaan dengan kritis. Kebudayaan adalah sesuatu yang
konkret menyertai kehidupan manusia dalam masyarakat. Tidak ada masyarakat
tanpa budaya dan tidak ada kebudayaan yang statis. Meski demikian, sikap kritis
dan hati-hati sangat diperlukan. Tugas orang Kristen dan gereja adalah menguji,
apakah kebudayaan itu sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan[44]? Dalam
proses pengujian itu, orang Kristen dan gereja harus mampu melakukan pemisahan,
mana yang “terang” dan mana yang “gelap”, mana yang perlu disingkirkan, mana
yang dapat dipakai, dan mana yang perlu diperbarui[45]?
Kedua, memperbarui kebudayaan.
Harus diakui bahwa setiap kebudayaan mengandung dosa. Seluruh dunia, termasuk
kebudayaannya, jatuh ke dalam dosa[46].Tugas
orang Kristen dan gereja adalah memperbarui kebudayaan dalam terang Injil,
sebagai perwujudan sikap hidup orang Kristen yang baru dan senantiasa bersedia
memperbarui diri.
Pada hakikatnya setiap produk budaya mempunyai nilai mulia, namun
juga tidak menutup kemungkinan adanya nilai yang tidak sesuai dengan kebenaran
iman Kristen. Jadi, pada prinsipnya cara memperbarui kebudayaan menurut iman
Kristen adalah menggunakan, melestarikan, dan mengembangkan wujud dan isi
kebudayaan sesuai dengan iman Kristen. Artinya, dalam proses pembaruan, wujud
kebudayaan dapat terus dilestarikan dan dikembangkan, namun isinya dapat
dibuang atau diubah agar sesuai dengan iman Kristen[47].
C.
Budaya dan Alkitab
Alkitab dan budaya adalah seperti
dua sisi keping mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Ketika melakukan studi
Alkitab, sering kali kita masih sulit untuk membedakan mana yang termasuk
prinsip dan mana yang sekadar latar belakang budaya ketika Alkitab ditulis[48].
Salah satu kesalahan terbesar dari Kaum Liberal di dalam menafsirkan Alkitab
adalah merelatifkan prinsip-prinsip firman Tuhan untuk dikontekstualisasikan ke
dalam konteks budaya sehingga beberapa prinsip menjadi berubah makna, bahkan
dianggap tidak relevan lagi di dalam konteks zaman sekarang.
Alkitab, yang diberikan di bawah
bimbingan Roh Kudus, betapa pun adalah kata-kata manusia, yang dipengaruhi oleh
bahasa, bentuk-bentuk pemikiran, gaya-gaya sastra, tempat-tempat, dan
waktu-waktu pada waktu ia ditulis. Kitab-kitab dalam Alkitab memantulkan
pandangan-pandangan hidup, sejarah dan kosmos yang beredar waktu itu. Karena
itu, gereja berkewajiban mendekati Alkitab dengan pengertian sastra dan
sejarah. Pada waktu Allah mengucapkan sabda-Nya dalam situasi budaya yang
berbeda-beda, gereja yakin bahwa Ia akan tetap berbicara melalui Alkitab dalam
dunia yang selalu sedang berubah dan juga dalam setiap bentuk budaya manusia.
Sebagai tambahan pada persoalan
pengertian dan tingkatan sampai di mana pengaruh budaya pada Alkitab, adalah
persoalan pengertian dan tingkatan sampai di mana Alkitab memantulkan
pandangan-pandangan hidup, sejarah, dan kosmos zaman kuno. Apakah kata
memantulkan berarti bahwa Alkitab mengajarkan pandangan-pandangan hidup,
sejarah, dan kosmos yang benar, kuno atau tidak benar? Apakah perspektif budaya
ini merupakan bagian inti berita Alkitab? Ataukah memantulkan berarti bahwa
kita boleh membaca apa yang tersirat di antara kalimat-kalimat Alkitab hal-hal
seperti bahasa fenomenal dan melihat latar belakang tempat berita yang
melampaui budaya itu diberikan? Bagaimana cara kita menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini banyak mengungkapkan pandangan kita yang menyeluruh
tentang Alkitab. Sekali lagi, hakiki Alkitab memengaruhi penafsiran kita.
Seperti yang telah kita lihat, untuk
menghasilkan eksegesis teks Alkitab yang akurat dan untuk memahami apa yang
dikatakan oleh Alkitab dan apa yang dimaksudkannya, orang yang mempelajari
Alkitab harus terlibat dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai bahasa (Ibrani,
Aram, Yunani), gaya tulisan, sintaks, konteks sejarah dan geografi, penulis,
tujuan, dan bentuk sastra. Analisis seperti ini diperlukan untuk menafsir buah
sastra mana saja, bahkan sastra masa kini sekalipun.
Problemnya menjadi lebih berat kalau
kita menyadari bahwa tidak saja Alkitab dipengaruhi oleh latar budayanya,
tetapi bahwa kita juga dipengaruhi oleh latar budaya kita sendiri[49].
Sering kali menjadi lebih sulit bagi kit untuk membaca dan memahami apa yang
dikatakan oleh Alkitab karena kita memasukkan ke dalamnya banyak sekali
anggapan yang di luar Alkitab.
Inilah mungkin problema pengaruh budaya yang
terbesar yang kita hadapi. Setiap dari kita telah menjadi produk zaman. Jika
seandainya kita tahu ada ide-ide kita yang tidak cocok dengan Alkitab, kita
akan mencoba mengubahnya. Namun, memisah-misahkan pandangan-pandangan saya
sendiri tidak selalu mudah. Kita semua cenderung untuk membuat kesalahan yang
sama itu berulang kali. Kelemahan kita disebut kelemahan karena kita tidak menyadarinya.
D.
Pandangan Agama Terhadap Budaya
Perbedaan antar
agama dan budaya tersebut menghasilkan hubungan antara iman-agama dan
kebudayaan. Sehingga memunculkan hubungan (bukan hubungan yang saling
mengisi dan membangun) antara agama dan budaya. Akibatnya, ada beberapa
sikap hubungan antara Agama dan Kebudayaan,[50]
yaitu:
1.
Sikap Radikal: Agama menentang Kebudayaan. Ini
merupakan sikap radikal dan ekslusif, menekankan pertantangan antara Agama dan
Kebudayaan. Menurut pandangan ini, semua sikon masyarakat berlawanan dengan
keinginan dan kehendak Agama. Oleh sebab itu, manusia harus memilih Agama
atau Kebudayaan, karena seseorang tidak dapat mengabdi kepada dua tuan.
Dengan demikian, semua praktek dalam unsur-unsur kebudayaan harus ditolak
ketika menjadi umat beragama.
2. Sikap Akomodasi: Agama Milik Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan keselarasan antara Agama
dan kebudayaan.
3. Sikap Perpaduan: Agama di atas Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan adanya suatu keterikatan
antara Agama dan kebudayaan. Hidup dan kehidupan manusia harus terarah pada
tujuan ilahi dan insani; manusia harus mempunyai dua tujuan sekaligus.
4. Sikap Pambaharuan: Agama Memperbaharui Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan bahwa Agama harus
memperbaharui masyarakat dan segala sesuatu yang bertalian di dalamnya. Hal itu
bukan bermakna memperbaiki dan membuat pengertian kebudayaan yang baru;
melainkan memperbaharui hasil kebudayaan. Oleh sebab itu, jika umat beragama
mau mempraktekkan unsur-unsur budaya, maka perlu memperbaikinya agar tidak
bertantangan ajaran-ajaran Agama. Karena perkembangan dan kemajuan masyarakat,
maka setiap saat muncul hasil-hasil kebudayaan yang baru. Oleh sebab itu, upaya
pembaharuan kebudayaan harus terus menerus. Dalam arti, jika masyarakat lokal
mendapat pengaruh hasil kebudayaan dari luar komunitasnya, maka mereka wajib
melakukan pembaharuan agar dapat diterima, cocok, dan tepat ketika
mengfungsikan atau menggunakannya.
Karena adanya
aneka ragam bentuk hubungan Agama dan Kebudayaan tersebut, maka solusi terbaik
adalah perlu pertimbangan – pengambilan keputusan etis-teologis (sesuai ajaran
agama). Dan untuk mencapai hal tersebut tidak mudah. Kebudayaan adalah : pengerjaan kemungkinan – kemungkinan dalam alam
kejadian manusia dimana pun manusia mengubah dan mengerjakan ( mengusahakan )
kemungkinan – kemungkinan jasmani dan rohani dari pada alam yang dijadikan oleh
Tuhan ini, disitulah terdapat kebudayaan.
E.
Pandangan Gereja Terhadap Adat
Gereja lebih
khususnya Kristus, datang ke dunia ini dan mati di Golgota untuk membaharui hidup
dan kehidupan kita, baik itu sifat, kebiasaan (kebudayaan), jati diri dan
bahkan keberadaan kita sebagai bangsa yang telah jatuh kedalam dosa[51].
Adat istiadat nenek moyang adalah adat yang bertumbuh dengan hadirnya gereja
atau Kristus, karena itu adat istiadat harus diterangi oleh injil, sehingga
adat itu bisa dipakai oleh orang kristen dalam terang Kristus. Kehadiran gereja
harus mencampuri adat istiadat manusia, sehingga adat istiadat tersebut sudah
diterangi oleh Injil yaitu adat yang tidak terpisahkan dari Injil.[52] Gereja harus masuk dalam adat dan menerangi adat dalam rangka Eklesia,
menerangi kegelapan.
Pertemuan antara Gereja (Injil)
dengan Adat sering sekali terjadi proses saling mempengaruhi, baik secara sadar
atau tidak. ada 3 kecenderungan yang
dijadikan panutan sikap manusia menghadapi adat-istiadat disekelilingnya.
1.
Sikap
antagonistis / penolakan akan segala bentuk adat-istiadat yang tidak
diingininya, gejala ini kita lihat dalam bentuk fundamentalisme yang ektrim. Di
Indonesia semua dedominasi gereja yang menyoroti kelab-kelab malam dan tempat
bilyar ketika mendekati hari raya, juga ada kalangan kristen yang melarang
merokok, minum-minuman keras, dan nonton secara keras. Sikap ini jelas tidak
realistis karena sekalipun yang ditolaknya itu barang haram tapi pengubah
mental orang tidak tepat bila menggunakan cara larangan dan paksaan yang
bersifat lahir demikian.
2.
Sikap
terbuka yang kompromistis yang menerima segala bentuk adat-istiadat
lingkungannya. Sikap demikian sering terlihat dalam kecenderungan liberalisme
ekstrim yang sering menganut faham kebebasan. Misalnya di Belanda yang dikenal
sebagai negara Eropa yang paling liberal, pecandu narkoba bisa menjadi anggota
dewan kota dan euthanasia dihalalkan. Kebebasan yang kebablasan
demikian juga kurang tepat, karena bagaimanapun manusia hidup didunia
berhubungan dengan orang lain, maka kebebasan yang keterlaluan dari sekelompok
yang satu bisa berdampak merugikan kelompok lain.
3.
Sikap
dualisme. Sikap ini tidak mempertentangkan dan tidak mencampurkan faham-faham
adat itu, tetapi membiarkan semua adat-istiadat itu berjalan sesuai dengan
situasi dan kondisi masing-masing.
Kebudayaan
menurut Alkitab dapat dilihat dari beberapa aspeknya,[53]
yaitu:
1.
Allah memberikan manusia ‘tugas
kebudayaan’ karena pada dasarnya ‘manusia memiliki gambar seorang pencipta’
(Kej.1:26-27) dan manusia diberi tugas agar ‘menaklukkan dan memerintah bumi’
(Kej.1:28). Jadi, manusia menerima suatu mandat dari Allah dan mandat itu
adalah mandat kebudayaan. Lebih jelas lagi disebutkan bahwa: “Tuhan Allah
mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan
dan memelihara taman itu.” (Kej.2:15); (2) Sesuai Mazmur 150 kita dapat melihat
bahwa TUJUAN kebudayaan yang utama adalah untuk ‘memuliakan dan mengasihi
Allah, dan agar kebudayaan itu digunakan untuk melayani dan mengasihi sesama
manusia seperti diri sendiri.’
2.
Mandat budaya Sebagai panggilan suara kenabian yang
mewartakan kebenaran Alkitab didalam memandang seluruh problematika kehidupan
disegala bidang
baik pendidikan
ekonomi, sosial, hukum,
kemasyarakat. Bila Alkitab berbicara begitu positif mengenai
kebudayaan, mengapa kebudayaan menjadi suatu yang dipersoalkan? Apa yang
menyebabkannya? Penyimpangan kebudayaan terjadi
misalnya dalam peristiwa ‘Menara Babel’ dimana tujuan kebudayaan menyimpang
diarahkan untuk penyembahan berhala dan kebanggaan diri/kelompok (Kej.11). Tema
dosa yang merusak tujuan kebudayaan adalah ‘ingin menjadi seperti Allah’
(Kej.3:5) dan ‘mencari nama’ (Kej.11:4). Jadi dosa telah menyimpangkan
kebudayaan sehingga berpotensi bukan saja untuk tidak memuliakan
penciptanya, sebaliknya malah digunakan untuk alat meninggikan diri dan
menantang Allah.
Memang tidak
mudah untuk melihat kuasa dosa itu kelihatan di dalam kebudayaan, kadang-kadang
terlihat dari ‘hasil’ kebudayaan seperti patung lalu disembah, musik digunakan
untuk memuliakan manusia & dosa dan menyembah dewa-dewi, dan filsafatpun
dapat digunakan tidak sesuai dengan firman Allah (Kol.2:8). Kadang-kadang kuasa
dosa terlihat dari ‘cara menggunakan’ hasil kebudayaan itu. Yesus
berfirman: “Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang kepada adat-istiadat
manusia.” (Mrk.6:8).
F.
Sikap Gereja
Terhadap Kebudayaan
H. Richard Niebuhr di Amerika Serikat
telah membuat bagan tentang sikap gereja terhadap kebudayaan ” Kristus dan Kebudayaan”[54]. Ia telah
menjelajahi sikap-sikap gereja terhadap kebudayaan sepanjang zaman dalam 5
sikap:
1. Gereja anti
kebudayaan.
2. Gereja dari
kebudayaan.
3. Gereja diatas
kebudayaan.
4. Gereja dan
kebudayaan dalam hubungan paradoks.
5. Gereja pengubah
kebudayaan.
Dapatlah disimpulkan bahwa sikap gereja terhadap
kebudayaan adalah :
1.
Gereja menentang kebudayaan khususnya terhadap unsur-unsur yang secara total bertentangan
dengan Injil, Contohnya,
terhadap cultur agama, suku, dan tata kehidupan yang tidak membangun seperti
poligami, perjudian, perhambaan.
2.
Menerima unsur-unsur kebudayaan yang bersesuaian dengan Injil dan bermanfaat bagi kehidupan.
3.
Menerima
unsur-unsur
kebudayaan tertentu dan
mentransformasikannya
dengan Injil. Umpanya
tata perkawinan, seni tari.
Sehingga dapat
menjadi sarana Injil.
Bagi mereka yang takut akan Allah, rasanya semua
tindakan kita dalam menerima adat-istiadat perlu berorientasi pada Allah dan
kehendak-Nya, ini menghasilkan empat pertimbangan berikut, yaitu sikap
menghadapi adat-istiadat yang:
1.
Memuji dan
memuliakan Allah.
2.
Tidak
menyembah berhala.
3.
Mencerminkan
kekudusan Allah.
4.
Mengasihi
manusia dan kemanusiaan.
Keempatnya berurutan dari atas ke bawah dimana
memuji dan memuliakan Allah adalah tugas utama umat Kristen (Mazmur 150) dan
ketiga lainnya diukur dari apakah itu meneguhkan kepujian dan kemuliaan Allah
atau tidak.
Dengan demikian
hidup beragama itu ialah berpikir dan berkarya berdasarkan Kitab Suci atau
Alkitab. Di dalam Firman tersebut dijelaskan, manusia tidak diciptakan Tuhan Allah seperti robot yang kemampuan berpikirnya sebatas yang
terprogram. Tetapi diciptakan dengan penuh kesadaran akan dirinya, alam dan
Tuhannya. Maksudnya, beragama yang benar, atau beriman kepada Tuhan Pencipta
langit dan bumi dengan segala isinya, tujuannya agar dalam memelihara ciptaan-Nya, tiap orang Kristen terpanggil
untuk setia dan mengasihinya dengan cara-Nya sendiri. Di sanalah sifat santun
itu menjadi penting. Yaitu, mengkiritisi panggilan-Nya agar membawa pengenalan akan Tuhan
secara benar (Kel 3:13 – 4:1). Semuan itu diarahkan agar iman kepercayaan
kita semakin bertumbuh dan bekerkembang sesuai dengan talenta yang dimilikinya.
Demikianlah proses mengerti dan melakukan kehendak Allah.
Manusia tidak
berjalan dalam kehendak yang kaku, tetapi selalu ada di dalam pembaruan, baik
itu kebudayaan, ilmu pengetahuan, teknologi dan sebagainya. Lebih dari itu,
berpikir kritis, santun berkarya bagaikan kompas hidup yang
tepat bagi manusia melihat pemandangan yang luas (ke depan) dan
beragam objek yang memukau perhatian dan sekaligus mengundang banyak pertanyaan
tentang objek-objek yang terpapar di depan kita. Tuhan menghendaki agar kita
membangun pekerjaan dan pelayanan yang sungguh-sungguh berkenan kepada-Nya. Itu
berarti kita tidak bekerja atau melayani secara sembarangan, atau mengambil muka
kepada pimpinan (Ef.6:6), tetapi “dengan rela menjalankan pelayanannya
seperti orang-orang yang melayani Tuhan, bukan manusia.”
Atas dasar
itulah, sifat mengkritisi harus ditopang sikap santun agar karya-karya yang
kita lakukan menjadi berkat bagi diri kita sendiri, tentu juga bagi orang lain.
Dalam hal ini, kita dapat belajar dari hamba Tuhan abad 1 itu, Yaitu Rasul
Paulus. Karena dia juga berpikir kritis terhadap tradisi umat Israel yang
sangat dikenalnya dan dihayatinya itu, tetapi dia terbuka pada tuntutan baru
dari iman yang berpusat pada Yesus Kristus yang mati dan bangkit itu,
sehingga dia melihat dan percaya bahwa kita tidak dapat diselamatkan oleh
Taurat (Yahudi), melainkan hanya oleh Yesus Kristus sebagai penggenapan Hukum
Taurat itu. Berdasarkan pernyataan itulah, kepada orang-orang percaya sepanjang zaman dia
menyerukan melalui tulisannya kepada jemaat Tessalonika itu : “ujilah
segala sesuatu dan peganglah yang baik ( 1 Tes 5 : 21 ).
Fidratan. Lions
Komentar
Posting Komentar