SASI GEREJA” ( Studi PAK di Jemaat GPM Imanuel Sather



BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang Masalah
Adat Sasi Pulau Kei adalah sebuah budaya Kearifan lokal daerah setempat yang unik baik di Pulau Kei besar maupun di Kei Kecil. Kepulauan tempat bercokolnya kabupaten Maluku Tenggara ini selain memiliki adat budaya lokal dengan  nama “SASI”,. Adat Sasi di Pulau Kei Besar, Kei Kecil ini digunakan masyarakat untuk melindungi alam sekitarnya.
Istilah Sasi dimengerti dalam dua bahasa atau penyebutannya yaitu “Yot” berdasarkan penyebutan masyarakat Kei Besar, sedangkan oleh masyarakat Kei Kecil disebut “Yutut”. Meskipun berbeda penyebutan tetapi artinya sama yaitu larangan yang bersifat melindungi suatu hasil tertentu dalam batasan waktu tertentu; Sasi mempunyai sifat atau kekuatan tertentu yang berlaku untuk umum maupun untuk perorangan.[1]
Dikisahkan dari tuturan leluhur, di sebuah tempat bernama Elaar telah diadakan pertemuan yang diikuti oleh sembilan kelompok. Sembilan kelompok itu disebut Ur Siu (Rumpun Sembilan). Pertemuan tersebut dipelopori oleh kakak kandung tertua Dit Sak Mas yang bernama Teb Tut. Agenda pertemuan adalah mencanangkan hukum sebagai respon keprihatinan terhadap dirampasnya barang-barang milik  Dit Sak Mas. Kejadiannya adalah ketika Dit Sak Mas dalam perjalanan dari Ohoivuur menuju Danar untuk menjumpai calon suaminya yang bernama Arnuhu, barang-barangnya habis dirampas oleh pembegal. Atas kegagalan tersebut Dit Sak Mas mengulang perjalanan dengan terlebih dahulu meletakkan daun kelapa putih (janur kuning) pada barang bawaannya sebagai tanda larangan bagi orang lain untuk mengambilnya. Penandaan barang dengan daun kelapa ini kemudian dikenal dengan sebutan sasi (Bahasa Kei : Yot/Yutut). Adat sasi sampai kini masih tetap lestari meskipun sudah mengalami perkembangan dan sering disalahgunakan. Sasi adalah larangan untuk melindungi suatu tempat / barang atau suatu hasil tertentu yang mengikat orang lain/ masyarakat untuk mentaatinya. Hukum yang dicanangkan pada pertemuan sembilan kelompok tersebut kemudian dikenal sebagai Hukum Larwul. Dalam Bahasa Kei “lar” artinya darah dan “wul” artinya merah.[2]
Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati (hewani maupun nabati) alam tersebut. Karena peraturan-peraturan dalam pelaksanaan larangan ini juga menyangkut pengaturan hubungan manusia dengan alam dan antar manusia dalam wilayah yang dikenakan larangan tersebut, maka sasi, pada hakikatnya, juga merupakan suatu upaya untuk memelihara tata-krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga/penduduk setempat. Saat ini, sasi memang lebih cenderung bersifat  HUKUM  ADAT bukan tradisi, dimana sasi digunakan sebagai cara mengambil kebijakan dalam pengambilan hasil laut dan hasil pertanian.
Secara umum, sasi berlaku di masyarakat sebagai bentuk etika tradisional. Sasi tidak berhubungan dengan ritus kelahiran, perkawinan, kematian dan pewarisan, melainkan lebih cenderung  bersifat tabu dan kewajiban setiap individu dan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam yang dimiliki. Seperti yang kita tahu, bahwa tabo atau tabu berfungsi untuk menjaga kestabilan hidup masyarakat. Tabu seringkali dikaitkan dengan sesuatu yang terlarang, karena akan mengakibatkan dampak buruk bagi orang yang melanggar tabu.
Rahail menyatakan, hukum sasi di Kei pada dasarnya merupakan suatu kaidah hukum yang didasarkan pada sasi pelestarian dan keseimbangan hubungan alam dengan manusia. Pasal ke tujuh dalam hukum Larwul Ngabal berbunyi “Hira I ni fo I ni, it did fo it did” yang artinya milik orang  tetap milik  mereka milik kita tetap milik kita.[3]
Secara tradisional, sasi diterapkan dalam empat tingkat, yaitu sebagai berikut[4] :
1.    Sasi perseorangan: Yakni sasi yang diberikan oleh seseorang untuk melindungi sesuatu yang menjadi miliknya yang kemudian dilaporkan kepada kepala soa atau marga, kades, tuan tanah atau seeorang yang memang ditunjuk khusus untuk tugas tersebut.
2.    Sasi umum: Yakni saksi yang ditetapkan dalam musyawarah seluruh warga desa yang diberlakuka secara umum. Inilah jenis sasi hawear dalam kesatuan hukum adat asli Israel.
3.    Sasi Gereja: Yakni sasi yang ditetapkan oleh sidang jemaat dan diumumkan di Gereja.
4.    Sasi Negeri:  Yakni sasi yang diberlakukan sebagai akibat persilisihan antara kampong atau desa yang berbeda. Misalnya persilisihan karena batas tanah atau kawasan meti yang semuanya ini belum jelas pemiliknya.
Sasi juga dapat diberlakukan di lokasi-lokasi dan jenis-jenis sumber daya alam, yang terbagi menjadi empat kelompok utama, yakni sebagai berikut:
a.       Di laut (Sasi laut), sasi tersebut diberlakukan dari batas air surut ke batas awal air yang dalam pada saat tertentu, yakni sebagai berikut :
i.        Menangkap ikan lompa serta jenis ikan lainnya, termasuk teripang dan udang.
ii.      Menangkap ikan-ikan di teluk-teluk tertentu dan pada waktu-waktu tertentu.
iii.    Menangkap ikan dengan menggunakn jaring yang bermata kecil.
iv.    Menangkap ikan dengan menggunakan bom atau bahan beracun.
v.      Menangkap ikan dengan menggunakan jaring khusus untuk daerah penangkapan tertentu
vi.    Mengambil lola, karang laut, karang laut hitam, batu karang dan pasir.
vii.  Mengumpulkan rumput laut untuk keperluan makanan atau untuk dijual.
b.      Di sungai (Sasi kali) pada saat :
i.        Menangkap ikan dan udang.
ii.      Menangkap ikan dengan menggunakan jaring bermata kecil.
iii.    Menangkap ikan dengan bom atau racun.
iv.    Mengumpulkan kerikil dan pasir.
v.      Menebang pohon dalam radius 200 dari sungai atau dari sumber-sumber air.
c.       Di Daratan (Sasi hutan) pada saat :
i.        Mengambil hasil pohon-pohon liar yang ditanam di hutan, seperti kelapa, durian, cengkeh, pala, langsat, mangga, nenas, kenari, pinang, sagu, enau dan lain sebagainya.
ii.      Mengambil daun sagu untuk atap rumah;
iii.    Menebang pohon pinang dan pohon lainnya yang sedang berbuah untuk membuat pagar.
iv.    Menebang pohon untuk kayu bakar atau kayu bangunan;
v.      Menebang pohon pada lereng-lereng tertentu.
vi.    Penghijauan.
vii.  Berburu burung mamalia di hutan
d.      Di pantai (Sasi pantai) pada saat:
i.        Mengambil hasil hutan mangrov
ii.      Mengambil pasir di pantai
iii.    Membuang sampah sembarangan di pantai
Pelanggaran terhadap semua jenis sasi di atas akan mendapatkan hukuman bersifat umum masing-masing untuk sasi yang disebut hawear yakni sasi dengan tanda anyaman daun kelapa mudah biasanya dikenakan sanksi yang berat  dan sangsi ringan akan diputuskan oleh dewan adat setempat. Adapun patokan dasar dalam penetapan hukum denda ini yakni[5]:
1.    Satu buah lela (meriam kuno) atau emas tiga taahil.
2.    Menanggung biaya perkara yang jumlahnya ditetapkan oleh siding dewan adat atau.
3.    Bentuk hukuman lainnya sesuai pertimbangan sidang dewan adat.
Dampak positif dari Hukum Sasi bagi masyarakat kei yakni :
1.      Menjaga hak milik bersama.
2.      Menjaga hak milik orang lain.
3.      Dengan adanya sasi orang lebih membiasakan diri untuk hidup hemat.
4.      Sasi dapat diakui langsung oleh Gereja dan Pemerintah sehinggah hukumannya jelas.
5.      Sasi dapat menjaga kelestarian  alam.
6.      Sangsi dari sasi berat sehingga orang selalu hati-hati sehingga tidak terjadi kecurian.
7.      Dengan adanya sasi membuat hubungan antara sesame dan alam sekitar menjadi harmonis

Dampak negatif dari Sasi yaitu :
1.    Apabila orang hanya memandang sasi sebagai hukuman maka hal ini disebut sebagai sikap legalisme. Karena yang terpenting ialah menjaga kekayaan alam dan juga hak milik orang lain.
2.    Jika orang hanya takut jika ada sasi tetapi mereka tidak takut pada perintah Allah “ jangan mencuri” maka manfaat sasi tidak ada artinya.
3.    Apabila  ada pelanggaran maka ada denda yang harus dibayar oleh orang yang melanggar sasi itu jika tidak maka orang tesebut harus menanggung akibatnya.
4.    Apabila orang melanggar maka ada penyakit-penyakit yang diderita oleh oknum bersangkutan
Jemaat GPM Imanuel Sather, merupakan jemaat yang berada pada wilayah kecamatan Kei besar selatan. Yang merupakan wilayah pelayaanan Klasis Elat. Di dalamnya memiliki beberapa budaya lokal. Salah satu diantaranya,  “Sasi” yang sering dipergunakan untuk melindungi petuanan atau dusun kelapa untuk waktu yang tidak terbatas. Yang pelaksanaanya, dibawah ke gereja disertai dengan nacar persembahan oleh pemilik untuk  diikatkan (apa yang terikat di dunia, terikat pula di surga) oleh pendeta serta disaksikan seluruh barisan pelayan dan semua anggota jemaat dalam ibadah minggu yang kemudian digumuli dalam doa syafaat.
Setelah pelaksanaan ibadah, kelapa yang sudah diikatkan dan di gumuli, dibawah ke hutan dan digantung pada kayu sebagai tanda bahwa, dusun kelapa telah disasikan. Proses   pembukaan sasipun dilaksanakan sama dengan proses awal pembukaan. Sanksi terhadap pelanggaran sasi ini adalah jatuh sakit, bahkan sampai meninggal dunia bila tidak ada pengakuan dan permohonan maaf terhadap pemilik, yang kemudian meminta barisan pelayanan untuk mendoakan.
Masyarakat kampung Sather memahami sasi gereja ini sebagai sebuah tradisi yang dibangun sejak leluhur (ubnis) antara pihak gereja dengan adat. Namun pihak gereja maupun pihak adat, tidak memberikan penjelasan yang baik kepada masyarakat apa arti sasi gereja yang dilakukan sehingga dari sisi pemaknaan, masyarakat kurang memahami, ajaran yang terkandung di dalamnya. Pada akhirnya, kerapkali masyarakat melanggar sasi gereja. Masyarakaat rentan diperhadapkan dengan konflik antar keluarga oleh karna pelanggaran dan pengambilan buah kelapa, perusakan dusun dan lainya yang bukan miliknya maaupun milik saudaranya.
Akibat dari pelanggaran sasi ini beberapa terjadi sehingga, masyarakat Sather mulai menyadari akan pentingnya makna sasi. Baik dari sisi hukum agama  ( jangan mencuri )  maupun hukum adat . (“Hira I ni fo I ni, it did fo it did”).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merasa perlu untuk mempelajari dan mengkaji lebih jauh, yang tertuang dalam skripsi yang berjudul, “SASI GEREJA” ( Studi PAK di Jemaat GPM Imanuel Sather”
B.            Perumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas, maka penulis ingin mempelajari dan mengkaji lebih jauh terhadap masalah ini dengan rumusan sebagai berikut.
1.      Bagaimana pemahaman jemaat tentang sasi gereja di jemaat GPM Sather ?
2.      Apa Makna sasi gereja bagi jemaat GPM Sather?
3.      Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan sasi gereja di jemaat GPM Sather?
4.      Bagaimana proses pelaksanaan sasi gereja di jemaat GPM Sather?
C.           Tujuan Penelitian
Tujuan penulis ini adalah sebagai berikut:
1.      Mendeskripsikan bagimana pemahaman jemaat tentang sasi gereja.
2.      Menjelaskan makna  sasi gereja.
3.      Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan sasi gereja.
4.      Menjelaskan proses pelaksanaan sasi gereja.
D.           Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1.      Secara akademis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangsi pikir  bagi Lembaga Sekolah Tinggi Teologia GPI Papua Fakfak.
2.      Bagi gereja, penulisan ini diharapkan kedepannya dapat memberikan sumbangan dalam rangka mendidik warga gereja.
3.      Bagi pribadi, penulisan ini kiranya memberikan sumbangsi besar bagi penulis yang sementara dipersiapkan menjadi pengajar (guru).
4.      Penulisan proposal ini, dibuat untuk memenuhi salah satu persyaratan formal mengakhiri studi di Lembaga Sekolah Tinggi Teologia Fakfak.
E.            Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang objektif, maka penulis menggunakan  teknik pengumpulan data secara kualitatif. Kirk dan Miller mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai sebuah tradisi tertentu  dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasa dan dalam peristilahannya.[6]
Dengan demikian, metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah “ Deskriptif, Kualitatif  yang menggambarkan fenomena yang terjadi”.
1.      Unit Analisa
Unit rianalisa adalah, cara yang dipakai untuk menganalisa data-data penelitian di lapangan baik lisan maupun tulisan terkait dengan apa yang telah di teliti oleh penulis. Unit analisa dalam penelitian ini adalah, jemaat GPM Imanuel Sather.
2.      Unit Pengamatan Jemaat Imanuel Sather
Unit pengamatan adalah, tokoh-tokoh adat dan gereja serta semua unsur yang berkepentingan di jemaat Imanuel Sather Klasis Elat.
3.      Lokasi Penelitiaan
Lokasi penelitian adalah tempat dimana penulis mengadakan  observasi langsung dan penelitian sehubungan dengan masalah yang akan dikaji oleh penulis. Maka penulis memilih lokasi penelitian adalah jemaat GPM Imanuel Sather. Alasan dasarnya yaitu:
a.       Karena keberadaan penulis sebagai orang Kei.
b.      Karena penulis menganggap penting untuk mengetahui bagaimana peranan gereja di tengah-tengah budaya local.
c.       Karena penulis merupakan salah satu anak negeri dan jemat Imanuel Sather.
4.             Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang di gunakan adalah wawancara, observasi langsung, dan studi kepustakaan.
a.       Wawancara.
Teknik wawancara yang digunakan adalah, wawancara mendalam. Dengan bentuk wawancara berstruktur, yang secara sistimatis menggunakan panduan atau pedoman wawancara yang digunakan berupa pertanyaan-pertanyaan untuk mengkaji permasalahan dan mendapat data sesuai dengan masalah yang di teliti.[7]
b.      Observasi partisipasi
Dalam observasi ini, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data, dan ikut merasakan suka dukanya. Dengan observasi partisipan ini, maka data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam, dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku yang nampak.[8]
c.       Study Kepustakaan
Study Kepustakaan adalah pencarian atau pengumpulan data dan informasi melalui sejumlah buku yang digunakan oleh penulis dalam meneliti masalah yang dikaji.
d.      Teknik Analisa Data.
Satu analisa data adalah kegiatan pengkajian, pengelompokan, dan menyimpulkan data serta mengemukakan hasil kesimpulan analisa agar dapat menjawab sebuah permasalahan serta dapat di pertanggungjawabkan sesuai fakta yang benar. Dalam penelitian kualitatif, analisa data sifatnya berkelanjutan dan di kembangkan sepanjang penelitian.
F.            Kerangka Teori
A.    Kebudayaan
B.     Sasi
C.     Simbol
D.    PAK

G.           Kerangka Teori
BAB I :Bagian ini berisikan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah ,perumusan masalah ,tujuan penelitian, manfaat penelitian ,metode penelitian, kerangka teori.
BAB II  : Bagian ini berisikan kajian teori mengenai, Sasi Gereja.
BAB  III : Bagian ini berisi paparan hasil penelitian dan analisa data.
BAB   IV: Bagian berisi refleksi theologis.
BAB   V : Bagian ini berisikan penutup. Berupa kesimpulan dan saran dari penulis.



           





BAB II
LANDASAN TEORITIS
A.           Kebudayaan
Dalam bahasa Indonesia, kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta ’buddhayah’, yaitu bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal), sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia.[9]
Widyosiswoyo. Mengatakan bahwa kata budaya merupakan perkembangan dari kata majemuk ’budi-daya’ yang berarti daya dari budi, yaitu berupa cipta, karsa, dan rasa. Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan, sedangkan kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtisar manusia.[10]
Ki Hajar Dewantara, kebudayaan berarti buah budi manusia yang merupakan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yaitu alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai. [11]
Koentjaraningrat, mendefenisikan kebudayaan sebagai seluruh total pikiran, karya, dan hasil manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah proses belajar.[12]
Kebudayaan yang diartikan sebagai totalitas pikiran, tindakan dan karya manusia tersebut mempunyai tiga wujud.
Pertama, kebudayaan sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai, norma-norma, peraturan, yag bersifat abstrak yang hanya dapat dirasakan, tetapi tidak dapat dilihat dan diraba.
Kedua adalah suatu kompleks aktivitas, tingkah laku berpola, perilaku, upacara-upacara serta ritus-ritus dari manusia dalam masyarakat yang mempunyai sifat dapat dirasakan dan dilihat tetapi tidak dapat diraba.
Ketiga adalah kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia yang bersifat dapat dilihat, dirasa, dan diraba. Wujud ini paling konkrit yang disebut kebudayaan fisik atau material (material culture), contohnya adalah Candi borobudur, rumah adat sampai kepada pesawat terbang, pesawat ruang angkasa.
Dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan, hasil karya manusia, dan kebiasaan yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat yang diperoleh setelah proses belajar.
Menurut Kluckhohn dalam karyanya Universal Categories Of Culture, ada tujuh unsur dalam kebudayaan universal[13].
1.      Spiritualitas
Spritualitas dibatasi sebagai keyakinan atau hubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi, keilahian dan kekuatan yang menciptakan kehidupan. Sementara agama mengacu kepada sistem yang diorganisasikan dengan penyembahan, spritualitas dan praktek. Maka spiritualitas adalah kepercayaan atau suatu hubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi, pencipta atau sumber segala kekuatan.
2.      Sistem organisasi dan kemasyarakatan
Sistem organisasi dan kemasyarakatan merupakan produk dari manusia sebagai homo socius. Manusia sadar bahwa tubuhnya lemah, namun manusia dengan akalnya membentuk kekuatan dengan cara menyusun organisasi kemasyarakatan yang merupakan tempat kerja yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama yaitu meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Organisasi adalah unit sosial yang sengaja dibentuk dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
3.      Sistem pengetahuan
Sistem pengetahuan merupakan produk dari manusia sebagai homo sapiens. Pengetahuan dapat diperoleh dari pemikiran sendiri dan juga dari pemikiran orang lain. Kemampuan manusia untuk mengingat apa yang telah diketahui, kemudian menyampaikan kepada orang lain melalui bahasa menyebabkan pengetahuan menyebar luas. Terlebih apabila pengetahuan itu dapat dibukukan, maka penyebarannya dapat dilakukan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
4.      Sistem mata pencaharian hidup
Sistem mata pencaharian hidup merupakan produk dari manusia sebagai homo economicus menjadikan tingkat kehidupan manusia secara umum terus meningkat. Dalam tingkat sebagai food gathering, kehidupan manusia sama dengan hewan. Tetapi dalam tingkat food producing terjadi kemajuan yang pesat. Setelah bercocok tanam, kemudian beternak yang terus meningkat (rising demand) yang kadang-kadang cenderung serakah. Sistem mata pencaharian hidup ini meliputi jenis pekerjaan dan penghasilan.
5.      Sistem teknologi dan peralatan
Sistem teknologi dan peralatan merupakan produksi dari manusia sebagai homo faber. Bersumber dari pemikirannya yang cerdas serta dibantu dengan tangannya yang dapat memegang sesuatu dengan erat, manusia dapat menciptakan sekaligus mempergunakan suatu alat. Dengan alat-alat ciptaannya itu, manusia dapat lebih mampu mencukupi kebutuhannya.
6.      Bahasa
Bahasa merupakan produk dari manusia sebagai homo longuens. Bahasa manusia pada mulanya diwujudkan dalam bentuk tanda (kode), yang kemudian disempurnakan dalam bentuk bahasa lisan, dan akhirnya menjadi bahasa tulisan. Bahasa-bahasa yang telah maju memiliki kekayaan kata yang besar jumlahnya sehingga makin komunikatif.
7.      Kesenian
Kesenian merupakan hasil dari manusia sebagai homo esteticus. Setelah mencukupi kebutuhan fisiknya, manusia perlu dan selalu mencari pemuas untuk memenuhi kebutuhan psikisnya. Semuanya
itu dapat dipenuhi melalui kesenian. Kesenian ditempatkan sebagai unsur terakhir karena enam kebutuhan sebelumnya, pada umumnya harus dipenuhi lebih dahulu.
Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional, kebudayaan lokal, maupun kebudayaan asal asing yang telah ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945. Kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional. Wujud kebudayaan daerah Indonesia sendiri tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh daerah di Indonesia. Setiap daerah memiliki ciri khas kebudayaan yang berbeda. Kebudayaan Indonesia apabila di bagi berdasarkan jenisnya, akan dilihat dari unsur : Rumah Adat, Tradisi Adat, Tarian, Lagu, Alat Musik, Pakaian Adat dan Makanan.
Salah satu kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan Maluku. Budaya Maluku adalah aspek kehidupan yang mencakup adat istiadat, kepercayaan, seni dan kebiasaan lainnya yang dijalani dan diberlakukan oleh masyarakat Maluku. Maluku merupakan sekelompok pulau yang menjadi bagian dari Nusantara. Maluku berbatasan dengan Timor di sebelah selatan, pulau Sulawesi di sebelah barat, Irian Jaya di sebelah timur dan Palau di timur laut. Ibu kota Maluku adalah Ambon yang bergelar atau memiliki julukan sebagai Ambon Manise. Maluku memiliki beragam budaya dan adat istiadat mulai dari alat musik, bahasa, tarian, hingga seni budaya.
B.            Sasi
Suhartini, dalam penelitiannya mengemukakan bahwa kearifan lokal merupakan warisan nenek  moyang kita dalam tata nilai kehidupan yang menyatu dalam bentuk religi, budaya dan adat  istiadat. Dalam perkembangannya masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungannya dengan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, peralatan, dipandu dengan norma adat, nilai budaya, aktivitas mengelola lingkungan guna mencukupi kebutuhan hidupnya.  Jika melihat evolusi hubungan manusia dengan alam di masa lampau telah terbentuk suatu hubungan yang harmonis yang disebut pan cosmism di mana manusia berusaha untuk hidup selaras dengan alam.[14]
Dalam pandangan manusia pada masa itu, alam itu besar dan sakral oleh karena itu harus dipelihara sehingga tidak terjadi kerusakan alam dan berakibat negatif bagi manusia itu sendiri. Dalam merealisasikan gagasan itu manusia menciptakan pamali- pamali atau etika bertindak dan bertingkah laku terhadap alam. Hampir sebagian besar etnis di Negara ini memiliki aturan-aturan dimaksud yang disebut sebagai  kearifan lingkungan.
Nababan dalam penelitiannya, menemukan bahwa beberapa masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaragaman hayati alami. Merupakan realitas bahwa sebagian besar masyarakat adat masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal diwariskan dan ditumbuh-kembangkan terus- menerus secara turun-temurun.[15]
Untuk menjaga keselarasan hidup antara manusia dan dengan alam dan untuk mempertahankan kelestarian maka masyarakat adat Kei sama dengan masyarakat hukum lainya mempunyai hukum adat dan lembaga adat yang bertugas untuk mengawasi wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan termasuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan terhadap tanah-tanah maupun laut yang berada dalam lingkungan persekutuan bersangkutan.
Sasi mengandung makna larangan mengambil hasil sumberdaya alam tertentu  sebelum  masa panen sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan ketersediaan populasi sumber daya hayati baik hewani maupun nabati, baik yang di darat maupun yang di laut.
Menurut Kissya, sasi pada hakekatnya merupakan suatu upaya untuk memelihara tatakrama hidup bermasyarakat, termasuk upaya ke arah pemerataan pembagian atau  pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga atau penduduk setempat. Untuk itu keberadaan sasi sangat membantu masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya yang ada di wilayah pesisir secara optimal agar dapat  meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir.[16]
C.           Simbol
Geertz, dalam usahanya untuk memahami kebudayaan, ia melihat kebudayaan sebagai teks sehingga perlu dilakukan penafsiran untuk menangkap makna yang terkandung dalam kebudayaan tersebut. Kebudayaan dilihatnya sebagai jaringan makna simbol yang dalam penafsirannya perlu dilakukan suatu pendeskripsian yang sifatnya mendalam[17] .
Geerts secara jelas mendefinisikannya. “Kebudayaan adalah suatu sistem makna dan simbol yang disusun dalam pengertian di mana individu-individu mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-penilaiannya; suatu pola makna yang ditransmisikan secara historik diwujudkan di dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana dimana orang-oarang mengkomunikasikan, mengabadikannya, dan menmgembangkan pengtahuan dan sikap-sikapnya ke arah kehidupan; suatu kumpulan peralatan simbolik untuk mengatur perilaku, sumber informasi yang ekstrasomatik”. Karena kebudayaan merupakan suatu sistem simbolik, maka proses budaya haruslah dibaca, diterjemahkan, dan diinterpretasikan.[18]
Konsep kebudayaan simbolik yang dikemukakan oleh Geertz diatas adalah suatu pendekatan yang sifatnya hermeneutic . Suatu pendekatan yang lazim dalam dunia seniotik. Pendekatan hermeunetik inilah yang kemudian menginspirisasikannya untuk melihat kebudayaan sebagai teks-teks yang harus dibaca, ditranslasikan, dan diinterpretasikan. Pengaruh hermeunetic dapat kita lihat dari beberapa tokoh sastra dan filsafat yang mempengaruhinya, seperti Kenneth Burke, Susanne langer, dan Paul Ricouer. Seperti Langer dan Burke yang mendefinisikan fitur/keistimewaan manusia sebagai kapasitas mereka untuk berperilaku simbolik.
Geertz menfokuskan konsep kebudayaan kepada nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman masyarakat untuk bertindak dalam mengahadapi berbagai permasalahan hidupnya. Sehingga pada akhirnya konsep budaya lebih merupakan sebagai pedoman penilaian terhadap gejala-gejala yang dipahami oleh si pelaku kebudayaan tersebut. Makna berisi penilaian-penilaian pelaku yang ada dalam kebudayaan tersebut. Dalam kebudayaan, makna tidak bersifat individual tetapi publik, ketika sistem makna kemudian menjadi milik kolektif dari suatu kelompok. Kebudayaan menjadi suatu pola makna yang diteruskan secara historis terwujud dalam simbol-simbol. Kebudayaan juga menjadi suatu sistem konsep yang diwariskan yang terungkap dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan, dan memperkembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan.  
D.           PAK
Pendidikan Agama mulai ketika agama sendiri mulai muncul dalam kehidupan manusia. Tiap-tiap agama agama mempunyai sistim pendidikannya tersendiri. Setiap agama merasa perlu untuk mengajarkan anak-anak mudah tentang kepercayaan, adat-istiadat dan kebaktian agama itu. Sebelum mereka dapat ditabiskan menjadi anggota penuh dari persekutuan agama itu. Wajiblah mereka diajar  dan dilatih dalam segala teori dan praktek  agamanya itu. Berkenaan dengan itu, tiap-tiap agama mempunyaai guru-guru dan lembaganya yang ditugaskan menjalankan pendidikan agama itu, selama ada agama dan pendidikan agama.[19]
Dalam Perjanjian Lama, nenek moyang kaum Israel, Abraham, Ishak dan Jakub, menjadi guru bagi seluruh keluarganya. Sebagi bapak dari bangsanya, merek bukan saja menjadi  imam yang merupakan pengentara anara Tuhan dengan umat-Nya, tetapi juga menjadi guru yang mengajarkan tentang perbuatan-perbuatan Tuhan yang mulia dan segala janji Tuhan yang membawa berkat kepada Israel turun-temurun. Bimbingan dan maksud Tuhan itu perlu dijelaskan kepada segala anak - cucunya[20].
Ishak menuruskan pengajaran yang penting itu dan kemudian anaknya Yakub menanamkanya segala perkara ini kedalam batin anak-anaknya. Yusuf menyimpan pelajaran itu dalam kemana saja ia pergi, biar dalam pengasingan sekalipun, sehingga pengetahuan akan janji Tuhan itu tetap terpelihara oleh bangsa Israel.
Tiap-tiap keturunan orang Israel menyampaikan pula segala pengajaran dan peraturan itu kepada keturunan yang berikut. Proses ini berlangsung terus-menerus berates tahun lamanya. Di Israel, segala sesuatu harus membantu dan bekerja sama untuk mendidik anak-anak dan orang dewasa agar menjadi anggota-anggota persekutuan agama itu, yang insaf akan panggilannya dan dengan segenap hatinya ingin mengabdi kepada Tuhan dalam segala gerak-gerik hidup mereka.
Seluruh pendidikan itu bersifat agama. Pendidikan itu mulai dari dalam masing-masing rumah-tangga dan diteruskan dalam kebaktian umum dan di dalam pengajaran tentang Taurat Tuhan. Tuhan Allah sendirilah yang merupakan pusat dan tujuan segala pendidikan masyarakat bangsa Israel, maka sudah tentu segala hal-ihwal masyarakat umum pula dipelajari dan diatur dalam terang penyataan Tuhan itu.
Dalam dunia Perjanjian Baru, Tuhan Yesus mengajar dimana saja; di atas bukit, dari dalam perahu, di sisi orang sakit, di tepi sumur, di rumah yang sederhana dan di rumah orang kaya, di depan pembesar-pembesar agama dan pemerintah, bahkan sampai di kayu salib sekalipun. Tuhan Yesus tidak memerlukan sekolah atau gedung yang tertentu. Tiap-tiap keadaan dan pertemuan-Nya untuk memberitakan Firmn Allah[21].
Yang menjadi tujuan pengajaran Yesus bukanlah membahas soal pokok agama dan susila secara ilmiah atau secara teori, namun untuk melayani tiap-tiap manusia yang datang kepada-Nya. Banyak metode pengajaran yang dipakai-Nya. Segala metode pengajaran itu masih relevansi hingga saat ini. Intisari pengajaran Yesus yaitu, Kasih, Kebenaran, Pengampunan, Keselamatan, Mengasihi, Mengampuni, dan akhir zaman.
                                                       BAB III                 
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN ANALISA DATA
A.           Profil  Umum Lokasi Penelitian
1.             Sejarah Singkat Desa Sather
Desa Sather  awalnya hanya ada dua kelompok yang tinggal di perbatasan desa Kilwat. Dua kelompok tersebut terdiri dari dua marga yang di kenal sebagai tuan tanah (Leluhur) yaitu marga Jamlaay dan Jamko. Marga Jamlaay tinggal di desa (Ehepu) sedangkan marga Jamko tinggal di desa Puko. Dari kedua marga ini kemudian terbentuk pula marga Tingubun[22].
600 tahun yang lalu di zaman batu, ada sebuah peristiwa terjadi di Waer. Peristiwa ini kemudian menyebabkan 6 marga yang menumpang  dua perahu  diantaranya: Perahu Waerat  marga Metubun, Dangeubun, dan Erubun dan perahu Waerwab : Marga Dokainubun, Domakubun, Wansaubun, dan 2 perahu tersebut memiliki nahkoda, salah satu nahkoda  bernama Sat (Kakak) dan satunya lagi  bernama Rumlus (Adik) meraka berla yar mencari daratan. Waktu mereka tiba di daratan Nger, ada tuan tanah yang sementara mencari ikan dengan menggunakan  anyaman bambu sebagai alat penangkap ikan. Waktu tuan tanah melihat kedua perahu tersebut, tuan tanah memanggil mereka dan meminta mereka untuk tinggal bersama dan membentuk sebuah kampung. Mereka meminta dalam bahasa Kei dengan sebutan Her, kelompok Waerat di berikan tanggung jawab untuk mengatur Pemerintah sedangkan kelompok Waerwab sebagai Kapitan, sedangkan marga tuan tanah  berperan  dalam mengatur akta adat tanah dengan demikian maka atas kesepakatan bersama mereka membentuk sebuah kampung atau desa yang diberi nama Sather yang di beri arti; orang yang diminta datang sampai sekarang kedua perahu tersebut telah menjadi dua buah batu karang besar yang masih ada dipinggir  pantai sampai sekarang yang beri nama batu Waerat dan batu Waerwab.
Ada 2 bencana yang pernah dialami oleh masyarakat atau jemaat Sather di antaranya:   
a)        Pada tahun 1906 di sather banyak orang terkena penyakit muntaber terbukti dengan ditemukan banyak tengkorak di beberapa tempat. Menurut penjelasan orang tatua, sudah banyak usaha yang di lakukan waktu itu oleh orang tatua, tetapi tidak berhasil. Aada lagi yang dari desa Langgiar yang memeluk Agama Islam yang bisa menyembukan tetapi dengan akta  perjanjian adat, bahwa semua orang Sather akan di Islamkan. Pengobatan itu berhasil di tengani mereka, namun pada tahun 1908 perahu Injil mulai  kuat lewat kehadiran seorang anak Negeri yang merantau di Ambon, sehingga proses itu tidak di jalankan sampai sekarang. Pada Tahun 1977 Sather kembali mengalami musibah muntaber dan 12 Orang meninggal namun pada akhirya dapat di atasi.
b)        Pada Tahun 1911 terjadi pertikaian antara desa Sather dengan desa Tutrean. Inilah awal pertikaian tersebut dan juga pada Tahun 1953 dan Tahun 1963 dan pertikaian besar besaran  terjadi pada Tahun 1988, di mana 74 Rumah di desa Sather terbakar. Pada Tahun 1997 sudah mulai aman namun belum total, sampai Tahun 1999 di saat pertikaian Islam Kristen maka membuat  kondisi kedua desa ini menjadi aman sampai sekarang.
2.             Letak Geografis
Desa Sather terdapat di pulau kei Besar Selatan yang ibu kota kecematannya adalah desa Weduar. Berbatasan secara geografisnya yakni:
1.    Sebelah utara berbatasan dengan desa Tutrean.
2.    Sebelah selatan berbatasan dengan desa Kilwat.
3.    Sebelah barat berbatasan dengan desa tamangil Nuhuten.
4.    Sebelah timur berbatasan dengan laut Arafura.
3.             Luas Wilayah
Luas wilayah desa Sather secara keseluruhan 9000, luas lahan pemukiman 1.300.000 m2, pekarangan 600.000 m2, prasarana umum 15.750 m2 dan lainya 2000 m2.  

4.             Keadaan Iklim.
Desa sather termasuk daerah tropis yang terletak di sekitar garis katulistiwa iklimnya dikuasai oleh angin musim, yakni angin yang bertiup saling berlawanan, setiap setengah tahun dengan arah yang berlawanan dalam musim timur (April-Oktober) angin bertiup dari tenggara (daratan benua Australia) kearah barat laut (Asia Tengah) Selama 6 bulan ini, mengalami musim kering atau musim kemarau. Sedangkan dalam setengah tahun berikutnya (November-Maret ) angin bertiup dari barat laut kearah Tenggara inilah musim barat dimana kepulauan Kei secara umum mengalami musim hujan.
5.             Keadaan Penduduk
Secara umum, pertumbuhan penduduk kampung/ masyarakat kampung Sather selalu mengalami perubahan  (Dinamis) dari tahun ke tahun. Hal ini disebebkan karena selama tahun berjalan, warga kampung Sather bertambah dari luar (kawin masuk) maupun pulang dari rantauan. Tetapi juga melalui proses kelahiran.
Disamping proses kelahiran dan arus masuk penduduk yang ada, perlu diketahui bahwa proses-proses sosial dalam kaitan dengan kehidupan masyarakat disana sangat nampak kental, hal ini dapat dilihat dengan terjadinya perkawinan campur antara suku yang mendiami kampung Sather. Dari perkawinan campur tersebut membuat sehingga proses adaptasi atau pembauran semakin kental dalam artian melalui perbedaan-perbedaan yang ada telah dipersatukan dengan ikatan perkawinan yang mempererat hubungan kekeluargaan tersebut.
Jumlah keseluruhan penduduk  desa Sather sebanyak 1606 jiwa yang terdiri dari 828 laki-laki dan 776 perempuan, sedangkan jumlah KK 199.
Tabel. 01
Jumlah Penduduk Desa Sather Tahun 2017-2018
No
Kelompok Umur
Jenis Kelamin
Jumlah Jiwa
L
P
1
0 – 15
234 Jiwa
255 Jiwa
487 Jiwa
2
16 – 55
515 Jiwa
471 Jiwa
986 Jiwa
3
Diatas 56 Tahun
79 Jiwa
50 Jiwa
129 Jiwa
Jumlah
828 Jiwa
776 Jiwa
1604 Jiwa
Sumber: Data Statistika Jemaat Imanuel Sather 2017-2018

6.             Aspek Sosio – Ekonomi
Secara Ekonomi, masyarakat Sather sebagian besar adalah petani atau pekerja kebun. Mereka mengusahakan lahan dalam dusun milik pribadi dengan menanam berbagai jenis tanaman. Baik tanaman umur jangka panjang maupun jangka pendek. Tanaman umur jangka pendek seperti; embal, ubi-ubian, kumbili, keladi, petatas, jagung dan pisang. Tanaman jangka panjang, seperti; kelapa, pinang, rambuta, cengkeh, pala, pohon sagu dan lain sebagainya.
Kesemuanya ini memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi, namun kenyataannya kebanyakan hanyalah sebatas konsumtif semata. Sebab kurang dipasarkan. Hal ini disebabkan karena  semua masyarakat memiliki hasil kebun yang sama.  Untuk dipasarkan, masyarakat harus membawahnya ke Tual atau Kabupaten. Namun harus membutuhkan biaya yang cukup banyak. Masyarakat Sather juga memiliki hasil laut yang cukup tinggi nilainya yakni; Lola, teripang, batu laga, ikan, dan lainnya. Hasil ini diambil dalam kurun waktu panjang. Dalam kenyataannya saat ini, banyak masyarakat pendapatan sehari-harinya bersumber dari usaha kios kecil dan penjualan sopi yang diambil dari kelapa.
7.             Aspek Budaya
Budaya yang sangat menonjol dalam kehidupan masyarakat Sather  adalah, budaya gotong royong yang dikenal dengan nama budaya Maren. Dimana, masyarakat saling membantu dalam pekerjaan apapun. Selain itu, budaya saling menyapa dan saling menghormati antara sesama. Ini sangat memperlihatkan hubungan kekeluargaan atau “Ain Ni Ain”.
8.             Aspek Kepercayaan
Masyarakat Sather menganut Agama Kristen Protestan. Bagi mereka, hanyalah Yesus Kristus yang  disembah sebagai Juruselamat. Oleh karena itu, sikap intervensi dari suku dan asal daerah lain, tidak mampu mempengaruhi kepercayaan mereka. Hal ini terbukti dari kerja sama semua warga dalam program baik program pemerintah kampung maupun program gereja menuju pembangunan manusia yang utuh. Baik pembangunan mental, spiritual, jasmani dan rohani dalam membangun warga menuju kehidupan yang damai dan sejahtera.
9.             Gambaran Khusus Lokasi Penelitian
a.             Sejarah Masuknya Injil di Jemaat GPM Imanuel Sather.
Sebelum Injil dikenal oleh masyarakat desa Sather, maka mula-mula masyarakat masih menganut Agama suku dengan menyakini sesuatu yang memiliki kekuatan supranatural atau kekuatan-kekuatan tertinggi lewat benda atau pohon- pohon besar. Inilah yang di sebut sebagai kepercayaan animisme dan dinamisme[23].
Walaupun demikian, mereka bisa membangun pola kehidupan yang baik antara satu dengan yang lain dengan hidup berdamai dan berdampingan dan saling menyelesaikan pekerjaan yang berat. Hidup kekerabatan ini sangat kuat sehingga mampu memupuk kebersamaan antara mereka. Conon ceritra, ada seorang anak yang bernama ( woe ) anak dari Faken Erubun dan Islar Domakubun. Ia ingin merantau mencari pengalaman dengan bermodal keberanian dan berbekal Enbal, ia pun berpamitan kepada orang tuanya dan akhirnya ia pun melakukan perjalanan, mengarungi lautan, walaupun di terpa ombak dan badai tetapi ia terus berlayar dengan sasaran ke Ambon.
Pada Tahun 1907 ia kembali ke kampung halaman Sather, dengan berbagai pengalaman yang di peroleh, ia pun menceritakan kehidupan  orang Ambon dan sekaligus memperkenalkan keyakinan baru yang di terimahnya yaitu,  keyakinannya pada Yesus Kristus.
Pada tanggl 12 Februari 1908 terjadi pembaptisan pertama di desa Sather yang dilakukan  yaitu,  Woi yang di perkirahkan saat itu berusia 25 Tahun dan yang membaptisnya yaitu Penginjil S.Taluta, dan orang tua saksi  adalah S.Taluta dan istrinya P. Hehanussa dengan nama baptisnya adalah Roberth, Erubun. Sejak saat itupun Roberth Erubun berkeinginan dan dengan semagat ia terus membangun misinya dengan merangkul, membimbing, mengarahkan dan terus memperkenalkan  Yesus Kristus kepada semua masyarakat. Semua niat hati dengan keyakinan bapak Roberth Erubun, ternyata merupakan bagian dari rencana Tuhan yang pada akhirya mulai diterimah oleh basudaranya dan dibentuklah persekutuan untuk beribadah. Cara menghimpun mereka adalah dengan meniup kuli bia. Lewat usaha keras dan atas kuasa Tuhan, pada tahun 1909 terjadi baptisan kedua tepatnya  Tanggal 20 November 1909 dibaptislah (7) orang dan pada tanggal  21 Desember  berjumlah (22) orang. Kedua baptisan ini di layani oleh Penginjil Y. Tamaela dan proses Penginjila inipun terus dilakukan sampai sekarang. Semua masyarakat  Sather pada akhirya  berpegang  atau berkeyakinan kepada Yesus Kristus. Jemaat ini mulai menata diri dan melembangan terus sebagai jemaat  GPM  yang mandiri dan tidak ada gereja denominasi lain dalam jemaat. [24]
Jemaat Sather berdasarkan uraian di atas maka perkembangan Injil masuk di jemaat atau masyarakat Sather dapat berjalan dengan baik di mana di antaranya oleh para Penginjil atau Pendeta yang betul-betul bertugas dan mengabdi dengan jujur, tulus, iklas dan kesetiaan dalam Pekebaran Injil sejak Tahun 1909-2017 namun dalam perkembangan di tahun dalam saat ini penulis berada di lapangan jumlah Pendeta  dan Pengijil  yang pernah  bertugas di jemaat  GPM  Sather  dari Tahun 1909-2017 namun dalam perkembangan di tahun dan sanpai saat ini penulis berada di lapangan,  jumlah Pendeta dan Penginjil yang  pernah bertugas di jemaat GPM Sather dari tahun 1909-2017 berjumlah 33 orang. 
Tabel.02
Nama-nama Penginjil dan Pendeta Yang Bertugas Di Jemaat GPM Imanuel Sather Sejak Tahun 1909-2017
No
Nama Penginjil dan Pendeta
Tahun Pengabdian
1
Penginjil,  Y. Tamaela
1909-1911
2
Penginjil, Y. Sahuburua
1911-1917
3
Penginjil,  N.  Lawalata
1917-1922
4
Penginjil, Y. Nirahuwa
1922-1924
5
Penginjil, N. Tuwahatu
1924-1927
6
Penginjil, A. Piyauli
1927-1935
7
Penginjil, B. Wansaubun
1935-1939
8
Penginjil, G. Songyanan
1939-1946
9
Penginjil, W. Domakubun
1946-1952
10
Penginjil, Y. Balubun
1952-1954
11
Penginjil,  S. Makatita
1954-1956
12
Penginjil, Y. Batyanan
1956-1958
13
Penginjil, E. Retraubun
1958-1959
14
Penginjil, F. Beruatwarin
1959-1961
15
Penginjil, I. Tingubun
1961-1962
16
Penginjil, P. Hukubun
1962-1968
17
Penginjil, P. Domakubun
1968-1969
18
Penginjil, G. Hurulean
1969-1972
19
Penginjil, A. Metubun
1972-1976
20
Penginjil, E. Dangeubun
1976-1978
21
Penginjil, G. Yongnain
1978-1979
22
Penginjil, A. Erubun
1979-1983
23
Penginjil, O. Mose
1983-1983
24
Penginjil, E. Metubun
1990-1995
25
Penginjil, A. Erubun
1995 – 2001
26
Pendeta, Nestoris. F. Sabono. SM.Th
1972 – 1976
27
Pendeta, Welhelmina. Katabal
1972-1976
28
Pendeta, Samuel 0. Suratratan, S.Th
1995-2001
29
Pendeta, Herson. G. Habel, S.Th
2001-2013
30
Pendeta, Yoland Y. Tahalelu, S.Si
2006-2013
31
Pendeta, Elvira R. Sapulete, M.Si
2013-2017
32
Pendeta, Lisa. H Lessil, M.Si
2017
33
Pendeta, Chirstian. Aponno, S.Si
2017

      Data Jemaat GMP Imanuel Sather Tahun 2017-2018

B.  Analisa Data dan Pembahasan
Pada bagian ini penulis akan mengkaji dan menganalisa data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan, tentang  “ Sasi Gereja” ( Studi PAK di Jemaat GPM Imanuel Sather). Untuk lebih jelas, maka penulis akan memaparkan data dan analisanya berdasarkan lokasi penelitian yaitu; Jemaat GPM IManuel Sather:
1.             Mendiskripsikan Bagaimana Pemahaman Jemaat GPM Sather Tentang Sasi Gereja.
Sasi merupakan sebuah budaya kearifan lokal yang dipergunakan oleh masyarakat adat di Kei untuk melindungi dan menjaga dusun atau petuanan yang dimilikinya.
Sesuai dengan pertanyaan di atas, maka menurut;
Bpk, W. D. Mengatakan;
“ Sasi gereja adalah[25] tanda larangan hukum adat yang biasa dipakai adalah kain hitam dan kayu yang dipakai sebagai tiang yang perkembangannya, setelah Gereja Protestan Maluku (GPM) mulai berdiri pada Tahun 1935. Dengan Ketua Sinode GPM yang pertama adalah Pendeta J. E. Staap”.
Dari Pendapat Bpk W. D. di atas dapat disimpulkan bahwa, sejak berdirinya Gereja Protestan Maluku Tahun 1935, sasi gereja sudah mulai dipakai yang ditandai dengan kain hitam yang ditancapkan pada tiang kayu. Yang perkebangannya hingga sekarang.
Bpk, A. W. Menurutnya;
“ Sasi gereja merupakan sebuah larangan yang didasarkan pada Firman Tuhan yang sudah diatur dalam liturgis. Tujuannya untuk melindungi hasil dusun berupa kelapa, buah-buahan ataupun hasil lainya. Jadi siapapun yang mencoba untuk melanggar, maka resikonya ditanggung sendiri”[26].
Selain itu, menurut Bpk, Y. M,
“ Sasi gereja itu adalah[27] sasi yang benar-benar kuat, karna sudah di doakan dan ditabiskan oleh pendeta yang disaksikan langsung oleh semua barisan pelayan maupun anggota jemaat, sehingga perlu kesadaran dari warga jemaat sendiri bahwa tujuan sasi itu untuk apa. Kalau memang tujuannya untuk melindungi hasil kebun maupun dusun kelapa dan sebagainya, maka jangan perna kita melanggar karna, hukumannya bukan dari manusia, tapi dari Tuhan”.
Dari hasil pendapat Bapak A. W dan Bapak Y. M di atas, maka dapat saya simpulkan bahwa,  sasi gereja merupakan sebuah tanda larangan yang benar-benar dilakukan untuk melindungi apa yang menjdi milik seseorang baik itu, hasil kebun, maupun dusun yang berupa kelapa, buah-buahan, tanaman jangka pendek dan juga jangka panjang lainnya. Yang didasarkan dengan doa yang sudah dan telah diatur dalam liturgis ibadah minggu. Maka dengan demikian, perlu kesadaran warga jemaat untuk menaatinya. Tetapi juga, memiliki kesadaran membedakan mana yang menjadi milik orang lain dan mana yang menjadi milik kepunyaanya sendiri. Seperti yang telah dikisahkan dalam hukum Larvul Ngabal “ It did intub vo it did, herir intub vo herir ” ( Milik kita, tetap miliki kita dan milik orang lain, tetap milik orang lain). Juga bunyi hukum kedelapan “Jangan mencuri” dan bunyi hukum kesepuluh “Jangan mengingini barang milik orang lain”.
2.             Makna  Sasi Gereja Bagi Jemaat GPM Sather
Baik gereja maupun adat, sama-sama menjaga dan memelihara Karya Penciptaan Allah. Sesuai dengan yang diperintahkan Allah dalam Kitab Kejadian 1:26. Dimana, manusia diberi kuasa untuk berkuasa atas bumi. Maka sudah tentu, manusia perlu menjaga, merawat dan memelihara segala ciptaan-Nya.
Bpk, A D. Menurutnya;
“ Makna dari sasi gereja itu sendiri, agar orang tidak bebas untuk mengambil hak milik orang lain dengan bebas atau sembarangan. Andai saja, tidak ada sasi gereja maka, tatanan hidup di jemaat atau masyarakat Sather akan hancur. Dewasa ini, perkembangan ilmu dan teknologi semakin maju dengan pesat, yang dapat mempengaruhi karakter seseorang jadi, praktek sasi di jemaat ini sangat penting. Dan kalau tidak ada unsur gereja yang mengikat, maka masyarakat dengan mudahnya melanggar karna kebanyakan masyarakat tidak lagi takut pada adat[28]”.
Pendapat Bapak, A. D di atas, dapat disimpulkan bahwa, Makna dari sasi geraja adalah untuk melindungi apa yang menjadi hak milik seseorang. Sehingga orang lain tidak dengan bebas mengambilnya dengan sembarangan. Seandainya sasi tidak diberlakukan di jemaat Sather, maka tatanan hidup bermasyarakat maupun berjemaat akan hancur. Sebab perkembangan ilmu dan teknologi semakin maju dengan pesat, turut mempengaruhi karakter seseorang sehingga kebanyakan masyarakat tidak lagi takut pada adat
Menurut Bpk, M. T;
“ Sasi gereja sebenarnya memberikan pemaknaan bahwa, gereja ada dan sementara bergumul ditengah-tengah dunia yang memang diperhadapkan dengan berbagai dinamika-dinamika hidup. Salah satunya adalah budaya kearifan lokal yang merupakan identitas kepribumian setiap anak adat.  Maka gereja perlu bekerja sama dengan adat untuk sama-sama melihat Karya Allah ditengah-tengah dunia ini. Seperti yang kita sama-sama ketahui bersama dalam Alkitab, Allah memberikan perintah kepada manusia untuk menjaga, merawat dan melindungi alam yang kita huni ini. Maka secara tidak langsung, kerja sama ini telah memenuhi perintah tadi. Hal ini yang perlu gereja dan adat perlu mengedepankan terus menerus dengan tetap berpegang pada kebenaraan Firman Allah sebagai pedoman bagi kita”[29].
Dari apa yang disampaikan oleh Bapak, M. T. Di atas, dapat saya simpulkan bahwa, gereja memeiliki peranan yanng sangat untuk menyikapi setiap dinamika hidup yang dihadapi oleh masyarakat. Gereja juga perlu membangun mitra dengan pihak adat guna bersama-sama melindungi Karya Penciptaan Allah di tengah-tengah dunia, seperti yang diperintahkan oleh Allah yaitu, menjaga, merawat dan melindungi. Dengan demikian, kerja sama itu tellah memenuhi perintah tersebut. Maka hal ini terus-menerus harus dikedepankan dengan tetap berpedoman pada kebenaran Firman Allah.
Bpk, L. T. Menurutnya;
“ Menurut saya, makna sasi gereja bagi masyarakat atau jemaat Sather ini sendiri untuk, menyadarkan kita bahwa, sesuatu yang milik orang lain, janganlah kita ambil. Sebab sudah ada larangan. Larangan itu adalah kerja sama antara adat dan gereja yang telah diatur dalam liturgis yang kemudian di doakan oleh pendeta berdasarkan Firman Tuhan.  Oleh sebab itu, masing-masing kita harus menaati itu supaya tetap terciptanya kehidupan yang damai. Sebab kita tidak taati, maka akan berdampak besar bagi diri kita sendiri”.
Penjelasan Bapak, L. T di atas, dapat disimpulkan bahwa, Makna sasi gereja untuk jemaat Sather adalah untuk memberikan kesadaran bagi setiap orang, apa yang milik orang lain jangan diambil secara sembarangan. Sebab sudah ada larangan yang telah dibuat atau disepakati baik oleh pihak gereja maupun pihak adat. Yang telah diatur dalam liturgis dalam ibadah minggu dan sudah di doakan oleh pendeta. Oleh karena itu, bila ada yangmelanggar maka, akan berdampak besar pada dirinya sendiri.
Bpk, Y. D. Menurutnya:
“ Secara Iman, kita percaya bahawa, Tuhan sudah memerintahkan untuk setiap manusia untuk tidak boleh mencuri, dan mengingini barang milik orang lain. Sisi adat juga, melarang hal yang sama. Berarti kembali saja kepada setiap kita, bagaimana memaknai sasi itu sendiri. Kalau memang itu untuk sesuatu tujuan yang baik, mengapa mesti kita langgar, tapi kalau untuk tujuanya baik, ya sudah, mari kita sama-sama saling menjaga dan melestarikan akan. Supaya tidak boleh tercontreng baik sisi gereja maupun sisi adat di mata umum[30]”.
Pendapat Bapak, Y. D. Di atas, dapat saya simpulkan, bunyi hukum Tuhan, jangan mencuri dan jangan mengingini barang milik orang lain. Begitu pula dengan larangan adat, jangan mencuri atau mengambil miliknya orang lain. Dengan demikian, setiap perlu menyadari dan sudah barang tentu tau mana yang baik dan mana yang buruk. Maka perlulah kerja sama semua pihak untuk menjaga dan melestarikan alam yang merupakan Karya Ciptaan Allah.
Bpk, N. Y. Menurutnya;
“ Sasi gereja ini maknanya sangat besar bagi kita dimana, dapat menyadarkan kita bahwa, sesuatu yang bukan milik kita, jangan kita ambil. Hal ini sebenarnya sudah memenuhi hukum Tuhan dimana,  ada perintah Jangan Mencuri dan Mengingini Milik Orang Lain.  Tapi memang anak-anak mudah skarang ini, kurang memahami hal ini. Sehingga bertindak sesuka hati akhirnya tindakan itu melanggar hukum agama maupun hukum adat. Oleh sebab itu, ini pekerjaan rumah bagi gereja dan pihak adat untuk terus memberikan pencerahan dan pemahaman yang baik bagi kaum mudi-mudi dewasa ini. Kalau kedua pihak ini tinggal diam, maka  jangan salah paham ketika kondisi akan semakin parah. Kondisi para yang saya maksudkan adalah, tindakan pengrusakan hutan, dusun, dan pencurian akan semakin meningkat[31]”.
Pendapat Bapak, N. Y. di atas dapat disimpulkan bahwa, dalam sasi gereja ini, tersirat makna teologis yang sangat mendalam. Dimana, gereja dan adat sama-sama melaksanakan perintah Tuhan yakni, menjaga dan melestarikan alam. Tetapi juga, dapat memberikan kesedaran bagi setiap jemaat untuk mengerti dan melaksanakan perintah Tuhan yaitu ; “Jangan Mencuri dan Jangan Mengingini Barang Milik Orang Lain”. Pihak gereja dan pihak adat, terus memberikan pemahaman dan pencerahan yang baik bagi setiap warga, teristimewa bagi kaum muda-mudi sehingga bertindak  sesuai dengan kaidah-kaidah atau norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat maupun berjemaat. Apabila kondisi sebaliknya, gereja dan adat berdiam diri, maka ancaman yang akan muncul adalah tindakan yang pada prinsipnya melanggar atau merusak tatanan hidup. Hubungan kerja sama antara gereja dan adat ini terus dipelihara dengan baik agar sama-sama memberikan pemahaman yang baik kepada setiap warga gereja. Selebihnya, dapat menyatakan Karya-karya Penciptaan Allah.

3.             Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Sasi Gereja Di Jemaat GMP Sather.
Proses pelaksanaan sasi gereja sendiri dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun internal. Namun demikian, tetap dilaksanakan sebagaimana yang sudah disepakati baik oleh pihak gereja maupun pihak adat.
Menurut Bpk, J. D.
“ Awalnya, masyarakat melaksanaakan sasi sesuai dengan tradisi atau adat dan budaya lokal yang ada untuk melindungi dusun-dusun atau hasil kebun dan sebagainya. Dengan berjalanya waktu,  sasi ini tidak lagi ditaati. Berbagai musibah telah menimpah desa Sather sendiri karna pelanggaran terhadap sasi adat ini. kemudian  sasi ini dibawah kedalam gereja untuk di doakan agar lebih memperkuat sebab ada unsur Firman Allah. Tetapi ada sedikit perdebatan dan penolakan oleh beberapa pihak, karena mereka berfikir bahwa, dengan adanya campur tangan gereja, maka budaya lokal akan hilang sebab semuanya di dominasi oleh gereja. Tapi karna terus diberikan pemahaman yang baik bahwa, campur tangan gereja ini tidak merombak budaya lokal ini dalam bentuk apapun. Justru sebaliknya dapat memberikan titik pencerahan yang baik. Maka akhirnya kesepakatanpun muncul untuk diputuskan sasi gereja yang dipakai hingga sekarang ini[32]”.
Menurut penjelasan Bapak, J.D. diatas dapat saya simpulkan, adat lokal yang digunakan oleh masyarakat untuk melindungi apa yang menjadi hak miliknya, tidak mampu membendung keinginan mereka. Sebab perkembangan waktu membuat adat semakin terkontaminasi (tercemarkan). Sehingga kerja sama antara gereja dan adat, semakin memperkuat sasi tersebut sebab ada unsur Firman Tuhan yang dapat menyadarkan warga jemaat. Tradisi yang dimiliki oleh masyarakat lokal, tidak dapat dihilangkan ketika kerja sama antara gereja dan adat ini terjadi, justru gereja hadir untuk memperkuat tradisi tersebut. Terbukti hingga saat ini, sasi terus dipergunakan.
Bpk, O. Y. Menurutnya;
“Gereja mengalami kendala karna kesadaran jemaat terhadap pelaksanaan sasi ini, sangat kurang. Yang mana, jemaat berfikir bahwa pelaksanaan sasi ini hanyalah sebuah slogan yang tidak memiliki arti apa-apa. Jemaat sendiripun, tidak mengerti apa makna dibalik sasi gereja ini. Sebab selama ini gereja maupun adat tidak memberikan ruang penjelasan yang baik kepada setiap warga jemaat[33]”.
Bpk, M. D. Menurutnya;
“ Pelanggaran dan tindakan semena-mena terhadap dusun atau hasil hutan ini dikarena, tidak ada kesadaran dan pengetahuan dari masyarakat bagaimana tujuan dari proses pelaksanaan sasi gereja itu. Ini akibat dari tidak ada penjelasan yang baik dari pihak-pihak berwajib baik itu gereja maupun adat bahwa, prooses sasi ini, untuk itu dan untuk ini. Andaikata penjelasan itu ada, maka saya pikir, potensi pelanggaran itu semakin kecil karna semua orang memiliki kesadaran yang mendalam terhadap sasi ini. Jadi menurut saya, ini tugas besar bagi pihak adat maupun pihak gereja untuk memberikan pemahaman yang baik bagi setiap warga jemaat. Kalau hal ini dilakukan, saya yakin sungguh kalau semuanya akan berjalan dengan lancar[34]”.
Dari penjelasan kedua Bapak tersebut di atas dapat saya simpulkan bahwa, kurangnya pemahaman jemaat terhadap makna sasi ini dikarenakan, pihak gereja maupun adat tidak memberikan penjelasan yang baik bagi setiap warga jemaat tentang bagaimana tujuan dari sasi tersebut. Dengan demikian, gereja dan pihak adat perlu memberikan penjelasan yang baik bagi setiap warga jemaat.                       
Bpk, L.T. Menurutnya;
“selain gereja menjalankan tugasnya, adatpun juga harus menjalankan tugas. Sehingga peluang pelanggaran-pelanggaran di masyarakat berkurang. Sebab pantauan saya selama ini, pelaksanaan sasi gereja itu sendiri tidak ada hambatan karna sudah diatur dalam liturgis, hanya saja yang menjadi faktor itu, selesai pelaksanaan di gereja, terjadi pelanggaran terhadap sasi itu sendiri. Lalu kira-kira kita mau salahkan siapa? Ini berarti, menjadi tugas kita bersama- bukan hanya gereja dan pihak adat, tetapi juga masyarakat untuk tetap mengawal dan saling mengingatkan antara satu dengan yang lain. Jadi menurut saya intinya, faktor penghambat itu datang kalau masyarakat atau jemaat tidak memiliki pemahaman yang baik. Kalau masyarakat atau jemaat sudah memahami dan mengerti dengan baik, maka peluang hambatan itu tidak ada dalam proses pelaksanaan sasi itu sendiri [35]”. 
Berdasarkan  pendapat di atas dapat saya simpulkan bahwa, faktor penghambat dalam proses pelaksanaan sasi gereja ini adalah oleh pihak gereja sendiri. Dimana, kurang memberikan pemahaman yang baik kepada warga jemaat tentang makna atau tujuan dari proses pelaksanaan sasi ini. Sehingga proses pelaksanaan ini seakan sebatas sebuah slogan tanpa pemaknaan apapun. Faktor gesekan antara paham adat dan gereja tidak begitu berpengaruh sebab, akhirnya dapat disepakati dan dapat dilaksanakan hingga saat ini. Begitupun dengan pihak lembaga adat. Yang juga menjadi salah satu faktor penghambat dalam proses pelaksanaan ini. Sebab tidak memainkan pernan yang cukup kuat untuk memberikn kesadaran penuh kepada masyarakat. Sehingga masyarakat miskin pemahaman terhadap tujun dan makna dari proses pelaksanaan dari sasi gereja itu sendiri.   
4.             Bagaimana Proses Pelaksanaan Sasi Gereja Jemaat GPM Sather.
Tugas utama dari setiap orang percaya adalah menjadi pihak yang wajib mengkomunikasikan dan mendemonstrasikan akta Firman di dalam kenyataan hidupnya. Yang mencerminkan kebenaran Firman Allah. Gereja Protestan Maluku pada tahun 1962, telah melakukan akta sasi gereja. Penginjil pertama yang melaksanakan sasi gereja di jemaat GPM Imanuel Sather adalah Penginijil, P. Hukubun yang didasarkan pada Keluaran 20.15-17. Dengan tujuan, menjaga, memelihara dan melindungi hak-hak milik sesama.
Berdasarkan pertanyaan di atas maka menurut;
Bpk, Y. D ;
“Dalam proses pelaksanaan sasi gereja ini, ada beberapa tata cara pelaksanaan antara lain[36]:
(1). Pemilik  membawah seberapa atau sejumlah uang untuk nasar akta sasi.
(2). Di wajibkan kepada pemilik untuk membawah hasil atau beberapa buah sebagai simbol sasi. Jika sasi dusun kelapa maka di bawah pada saat jam ibadah saat itu 2 buah kelapa, sebaliknya  kebun keladi, ubi, embal seberapa buah di haruskan untuk bawah untuk disasikan.
(3). Pelaksanaan sasi gereja dilakukan pada saat ibadah minggu dan pada pertengahan Pelayanan Firman akan menjalankan  akta sasi dan pemilik berdiri di depan altar  membawah nasar dan kelapa atau hasil kebun lainya di bawah ke depan altar  sesudah doa khusus maka pemilik memasuki nasar pada peti derma.
Jika saat terasa bahwa hasil dari dusun kelapa atau kebun sudah cukup memberikan hasil yang banyak maka akan di buat akta sasi buka dengan persyaratan seperti pada awal pembukaan sasi
Bpk, Y. M. Menurutnya;
“ Proses pelaksanaan sasi ini didasarkan pada liturgis yang sudah diatur oleh gereja. Jadi secara teknis, kita berjalan sesuai dengan apa yang menjadi petunjuk yang sudah ada[37]”. 
Dari Penjelasan Bapak, Y.D. dan Bapak, Y.M. Di atas dapat disimpulkan, dalam pelaksanaan sasi gereja ini, ada langkah-langkah yang sudah diatur oleh pihak gereja dan adat, mulai dari proses pelaksanaan maupun sanksi. Sehingga warga jemaat hanya mengikuti apa yang sudah diatur.
Menurut Bpk, Y. M,
“ Bagi orang yang mau buat sasi untuk melindungi hasil dusun kelapa, tinggal dia bawah kelapa satu buah yang dibungkus dengan kantong plastik hitam dengan uang nasar ke gereja sebelum satu minggu kemudian lapor untuk barisan pelayan. Supaya dalam ibadah minggu diwartakan dan diikatkan dan di doakan oleh pendeta yang bertugas. Kemudian selesai itu, pemiliknya membawanya ke dusun kelapa untuk ditaruh sebagai tanda bahwa, dusun kelapa tersebut disasikan. Jadi siapa yang berani untuk melanggar, maka dia akan berurusan dengan Tuhan dan leluhur[38]”.
Bpk, A.M. Menurutnya;
“ Proses pelaksanaan sasi gereja ini sendiri sudah disepakati dan telah diatur dalam liturgis ibadah minggu. Jadi bagi masyarakat yang mau untuk kasih sasi dusun kelapa atau hasil lainya, tinggal ia kerja sama dengan pihak pelayan lalu mengikuti saja apa yang diarahkan oleh para pelayan dalam hal ini pendeta. Selesai dari proses gereja, iapun sudah tau kemana ia membawahnya. Jadi bagi saya, proses pelaksanaan sasi ini turun-temurun sejak leluhur (ubnis) hingga saat ini, tidak perna diubah dalam bentuk apapun[39]”.
Bpk, A. W. Menurutnya,
“ Pelaksanaan sasi gereja di negeri dan jemaat ini, turun-temurun masih tetap sama. Karna sudah diatur oleh gereja. Sehingga masyarakat atau jemaat tidak bisa seenaknya melakukan sasi gereja semau-maunya. Yang prosesnya hasil yang mau dikasih sasi itu, dibawah ke gereja jauh-jauh hari untuk dilaporkan ke majelis jemaat. Kalau sudah sampai ke majelis jemaat, maka prosesnya sesuai dengan yang diatur dalam liruturgis ibadah minggu. Proses pembukaan sasipun sama dilakukan dengan awal penutupan sasi[40]”.
Dari penjelasan ketiga Bapak di atas, dapat disimpulkan, setiap warga jemaat yang mau melindungi hasil dusun, tinggal mengikuti langkah-langkah yang sudah ditentukan oleh pihak gereja dengan membawah serta nacar pergumulan. Jika proses pelaksanaan yang dilakukan oleh gereja melalui ibadah minggu yang telah diatur dalam liturgis selesai, maka pemilik harus membawahnya ke dusun kelapa dan ditancapkan pada tiang kayu. Hal ini pertanda bahwa dusun tersebut telah disasikan. Pelanggaran atas hal ini, maka akan mendapat hukuman yang setimpal.


BAB IV
REFLEKSI TEOLOGIS
A.           Hubungan Iman Kristen Terhadap Kebudayaan
a.              Tugas Manusia dan Kebudayaan
Dalam Kejadian 1 : 28 dikatakan “ Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka : “ beranak cuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukanlah itu”. Kata “takklukan: dalam bahasa ibrani diambil dari kata “kabash”. Istilah ini dipakai sekitar lima belas kali dalam perjanjian lama yang berarti menundukan lawan, atau menaklukkan musuh. Untuk menundukan itu membutuhkan kekuatan Implikasi yang harus dipikirkan, jika hanya sampai disini ialah tindakan sewenang – wenang manusia terhadap alam, sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan[41]. Namun menaklukan alam, sebenarnya Adam harus memikitrkan, mengerjakan, mengusahakan, mengelola alam ini dan melestarikannya.
Mengalahkan bukan membinasakan, melainkan menjadikan alam bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta mengusahakan kesejahteraan dirinya dan alam semesta. Manusia mengemangkan cipta dan karsanya bagi kesejahteraan hidupnya. Inilah mandat yang dipercayakan Allah kepada manusia.

b.             Tujuan kebudayaan.
Kebudayaan yang dinyatakan dalam Alkitab, pada mulanya dan seharusnya bertujuan untuk memuliakan Allah (Vertikal). Apakah semua manifestasi kebudayaan di semua aktivitas manusia digunakan untuk memuliakan Allah ? apakah seni suara, musik , lukis, ukir, asitektur, teknik, ilmu pengetahuan, dan semua manifestasi kebudayaan pada masa kini tertuju untuk memuliakan Allah ? ataukah segala kemampuan dikerahkan untuk mendirikan menara babel ? Tujuan selanjutnya untuk meningkatkan kehidupan manusia (Horizontal). Hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa kebudayaan yang diberikan Allah untuk meningkatkan, mempermudah manusia untuk melakasanakan pekerjaannya[42]. Contoh konkrit, manusia ingin bekerja disawah hanya mengandalkan cangkul tetapi di zaman modern ini manusia dipermudah dengan kehadiran alat – alat pertanian yang serba modern. Kenyataan yang kita lihat banyak sekali hasil kebudayaan yang dipergunakan bukan untuk mengasihi Allah dan sesama manusia, melainkan untuk penyembahan berhala dan kebanggaan atau ambisi diri.
c.              Kuasa Dosa dan iblis dalam Kebudayaan
Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, kebudayaan telah menjadi bagian integral keberdosaan manusia. Manusia yang mengelola kebudayaan adalah manusia yang berdosa, maka kebudayaan pun iikut jatuh ke dalam dosa. Sehingga manusia dapat mengarahkan kebudayaan itu bukan untuk memuliakan Allah.
Manusia dapat menciptakn kebudayaan untuk menjadikan hasil kebudayaan sabagai berhala misalnya uang. Dalam kenyataannya tidak sedikit orang yang menganggap uang adalah segala- galanya. Mereka melakukan dan menghalalkan segala cara demi mendapatkan uang. Uang sudah menggantikan Tuhan bagi dirinya.
Bandingkan 1 Timotius 6 : 10 “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka”.
Ada 5 macam sikap umat Kristien terhadap kebudayaan, yakni[43]:
1.             Antagonistis atau oposisi.
Sikap antagonistis atau oposisi terhadap kebudayaan ialah sikap yang melihat pertentangan yang tidak terdamaikan antara agama Kristen dan kebudayaan. Sebab akibatnya, sikap ini menolak dan menyingkirkan kebudayaan pada semua ungkapannya. Gereja dan umat beriman memang harus berkata tidak atau menolak ungkapan kebudayaan tertentu, yakni kebudayaan yang ;
a.         MenghinaTuhan
b.        Menyembah berhala.
c.         Yang merusak kemanusiaan.
d.        Akomodasi atau persetujuan.
Kebalikan dari sikap antagonis adalah mengakomodasi, menyetujui atau menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang ada. Terjadilah sinkritisme. Salah satu sikap demikian ditujukan untuk membawa orang pada cara berfikir, cara hidup dan berkomunikasi atau berhubungan dengan orang lain sedemikian rupa sehingga seolah-olah semua agama sama saja.
2.             Dominasi atau sintesis
Dalam gereja yang mendasari ajarannya pada teologi Thomas Aquinas. Ia menganggap bahwa sekalipun kejatuhan manusia kedalam dosa telah membuat citra ilahinya merosot pada dasarnya manusia tidak jatuh total, manusia masih memiliki kehendak bebas yang mandiri. Itulah sebabnya didalam menghadapi kebudayaan kafir sekalipun, umat bisa melakukan akomodasi secara penuh dan menjadikan kebudayaan kafir itu sebagai bagian imam, namun kebudayaan itu disempurnakan dan disucikan oleh sakramen yang menjadi anugrah Ilahi.
3.             Dualisme atau pengutuban.
Yang dimaksud dengan sikap dualistis atau pengutuban terhadap kebudayaan ialah pendirian yang hendak memisahakan iman dari kebudayaan ialah ; terdapat pada kehidupan kaum beriman kepercayaan kepada karya Allah kepada TuhanYesus Kristus, namun manusia tetap berdiri didalam kebudayaan kafir. Peran penebusan Tuhan Yesus yang mengubah hati manusia berdosa menjadi manusia yang hidup didalam iman tidak lagi berarti menghadapi kebudayaan.
4.             Pengudusan atau pertobatan.
Sikap pengudusan adalah sikap yang tidak menolak, namun tidak juga menerima, tetapi sikap keyakinan yang teguh bahwa kejatuhan manusia kedalam dosa tidak menghilangkan kasih Allah atas manusia. Manusia dapat menerima kebudayaan selama hasil hasil itu memuliakan Allah, tidak menyembah berhala, mengasihi sesama dan kemanusiaan. Sebaliknya, bila kebudayaan itu memenuhi salah satu atau keempat sikap budaya yang salah satu itu, umat beriman harus menggunakan firman Tuhan untuk menguduskan kebudayaan itu, sehingga terjadi transformasi budaya kearah budaya yang, memuliakan Allah.
B.            Bagaimana sikap kita terhadap kebudayaan?
Ada dua sikap yang harus dikembangkan oleh orang Kristen dalam menghadapi kebudayaan:
Pertama, memeriksa kebudayaan dengan kritis. Kebudayaan adalah sesuatu yang konkret menyertai kehidupan manusia dalam masyarakat. Tidak ada masyarakat tanpa budaya dan tidak ada kebudayaan yang statis. Meski demikian, sikap kritis dan hati-hati sangat diperlukan. Tugas orang Kristen dan gereja adalah menguji, apakah kebudayaan itu sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan[44]?  Dalam proses pengujian itu, orang Kristen dan gereja harus mampu melakukan pemisahan, mana yang “terang” dan mana yang “gelap”, mana yang perlu disingkirkan, mana yang dapat dipakai, dan mana yang perlu diperbarui[45]?
Kedua, memperbarui kebudayaan. Harus diakui bahwa setiap kebudayaan mengandung dosa. Seluruh dunia, termasuk kebudayaannya,  jatuh ke dalam dosa[46].Tugas orang Kristen dan gereja adalah memperbarui kebudayaan dalam terang Injil, sebagai perwujudan sikap hidup orang Kristen yang baru dan senantiasa bersedia memperbarui diri.
Pada hakikatnya setiap produk budaya mempunyai nilai mulia, namun juga tidak menutup kemungkinan adanya nilai yang tidak sesuai dengan kebenaran iman Kristen. Jadi, pada prinsipnya cara memperbarui kebudayaan menurut iman Kristen adalah menggunakan, melestarikan, dan mengembangkan wujud dan isi kebudayaan sesuai dengan iman Kristen. Artinya, dalam proses pembaruan, wujud kebudayaan dapat terus dilestarikan dan dikembangkan, namun isinya dapat dibuang atau diubah agar sesuai dengan iman Kristen[47].

C.           Budaya dan Alkitab
Alkitab dan budaya adalah seperti dua sisi keping mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Ketika melakukan studi Alkitab, sering kali kita masih sulit untuk membedakan mana yang termasuk prinsip dan mana yang sekadar latar belakang budaya ketika Alkitab ditulis[48]. Salah satu kesalahan terbesar dari Kaum Liberal di dalam menafsirkan Alkitab adalah merelatifkan prinsip-prinsip firman Tuhan untuk dikontekstualisasikan ke dalam konteks budaya sehingga beberapa prinsip menjadi berubah makna, bahkan dianggap tidak relevan lagi di dalam konteks zaman sekarang.
Alkitab, yang diberikan di bawah bimbingan Roh Kudus, betapa pun adalah kata-kata manusia, yang dipengaruhi oleh bahasa, bentuk-bentuk pemikiran, gaya-gaya sastra, tempat-tempat, dan waktu-waktu pada waktu ia ditulis. Kitab-kitab dalam Alkitab memantulkan pandangan-pandangan hidup, sejarah dan kosmos yang beredar waktu itu. Karena itu, gereja berkewajiban mendekati Alkitab dengan pengertian sastra dan sejarah. Pada waktu Allah mengucapkan sabda-Nya dalam situasi budaya yang berbeda-beda, gereja yakin bahwa Ia akan tetap berbicara melalui Alkitab dalam dunia yang selalu sedang berubah dan juga dalam setiap bentuk budaya manusia.
Sebagai tambahan pada persoalan pengertian dan tingkatan sampai di mana pengaruh budaya pada Alkitab, adalah persoalan pengertian dan tingkatan sampai di mana Alkitab memantulkan pandangan-pandangan hidup, sejarah, dan kosmos zaman kuno. Apakah kata memantulkan berarti bahwa Alkitab mengajarkan pandangan-pandangan hidup, sejarah, dan kosmos yang benar, kuno atau tidak benar? Apakah perspektif budaya ini merupakan bagian inti berita Alkitab? Ataukah memantulkan berarti bahwa kita boleh membaca apa yang tersirat di antara kalimat-kalimat Alkitab hal-hal seperti bahasa fenomenal dan melihat latar belakang tempat berita yang melampaui budaya itu diberikan? Bagaimana cara kita menjawab pertanyaan-pertanyaan ini banyak mengungkapkan pandangan kita yang menyeluruh tentang Alkitab. Sekali lagi, hakiki Alkitab memengaruhi penafsiran kita.
Seperti yang telah kita lihat, untuk menghasilkan eksegesis teks Alkitab yang akurat dan untuk memahami apa yang dikatakan oleh Alkitab dan apa yang dimaksudkannya, orang yang mempelajari Alkitab harus terlibat dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai bahasa (Ibrani, Aram, Yunani), gaya tulisan, sintaks, konteks sejarah dan geografi, penulis, tujuan, dan bentuk sastra. Analisis seperti ini diperlukan untuk menafsir buah sastra mana saja, bahkan sastra masa kini sekalipun.
Problemnya menjadi lebih berat kalau kita menyadari bahwa tidak saja Alkitab dipengaruhi oleh latar budayanya, tetapi bahwa kita juga dipengaruhi oleh latar budaya kita sendiri[49]. Sering kali menjadi lebih sulit bagi kit untuk membaca dan memahami apa yang dikatakan oleh Alkitab karena kita memasukkan ke dalamnya banyak sekali anggapan yang di luar Alkitab.
 Inilah mungkin problema pengaruh budaya yang terbesar yang kita hadapi. Setiap dari kita telah menjadi produk zaman. Jika seandainya kita tahu ada ide-ide kita yang tidak cocok dengan Alkitab, kita akan mencoba mengubahnya. Namun, memisah-misahkan pandangan-pandangan saya sendiri tidak selalu mudah. Kita semua cenderung untuk membuat kesalahan yang sama itu berulang kali. Kelemahan kita disebut kelemahan karena kita tidak menyadarinya.
D.           Pandangan Agama Terhadap Budaya
Perbedaan antar agama dan budaya tersebut menghasilkan hubungan antara iman-agama dan kebudayaan. Sehingga memunculkan hubungan (bukan hubungan yang saling mengisi dan membangun) antara agama dan  budaya. Akibatnya, ada beberapa sikap hubungan antara Agama dan Kebudayaan,[50] yaitu:
1.        Sikap Radikal: Agama menentang Kebudayaan. Ini merupakan sikap radikal dan ekslusif, menekankan pertantangan antara Agama dan Kebudayaan. Menurut pandangan ini, semua sikon masyarakat berlawanan dengan keinginan dan kehendak Agama. Oleh sebab itu, manusia harus memilih Agama  atau Kebudayaan, karena seseorang tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Dengan demikian, semua praktek dalam unsur-unsur kebudayaan harus ditolak ketika menjadi umat beragama.
2.    Sikap Akomodasi: Agama Milik Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan keselarasan antara Agama dan kebudayaan.
3.    Sikap Perpaduan: Agama di atas Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan adanya suatu keterikatan antara Agama dan kebudayaan. Hidup dan kehidupan manusia harus terarah pada tujuan ilahi dan insani; manusia harus mempunyai dua tujuan sekaligus.
4.    Sikap Pambaharuan: Agama Memperbaharui Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan bahwa Agama harus memperbaharui masyarakat dan segala sesuatu yang bertalian di dalamnya. Hal itu bukan bermakna memperbaiki dan membuat pengertian kebudayaan yang baru; melainkan memperbaharui hasil kebudayaan. Oleh sebab itu, jika umat beragama mau mempraktekkan unsur-unsur budaya, maka perlu memperbaikinya agar tidak bertantangan ajaran-ajaran Agama. Karena perkembangan dan kemajuan masyarakat, maka setiap saat muncul hasil-hasil kebudayaan yang baru. Oleh sebab itu, upaya pembaharuan kebudayaan harus terus menerus. Dalam arti, jika masyarakat lokal mendapat pengaruh hasil kebudayaan dari luar komunitasnya, maka mereka wajib melakukan pembaharuan agar dapat diterima, cocok, dan tepat ketika mengfungsikan atau menggunakannya.
Karena adanya aneka ragam bentuk hubungan Agama dan Kebudayaan tersebut, maka solusi terbaik adalah perlu pertimbangan – pengambilan keputusan etis-teologis (sesuai ajaran agama). Dan untuk mencapai hal tersebut tidak mudah. Kebudayaan adalah : pengerjaan kemungkinan – kemungkinan dalam alam kejadian manusia dimana pun manusia mengubah dan mengerjakan ( mengusahakan ) kemungkinan – kemungkinan jasmani dan rohani dari pada alam yang dijadikan oleh Tuhan ini, disitulah terdapat kebudayaan.
E.            Pandangan Gereja Terhadap Adat
Gereja lebih khususnya Kristus, datang ke dunia ini dan mati di Golgota untuk membaharui hidup dan kehidupan kita, baik itu sifat, kebiasaan (kebudayaan), jati diri dan bahkan keberadaan kita sebagai bangsa yang telah jatuh kedalam dosa[51]. Adat istiadat nenek moyang adalah adat yang bertumbuh dengan hadirnya gereja atau Kristus, karena itu adat istiadat harus diterangi oleh injil, sehingga adat itu bisa dipakai oleh orang kristen dalam terang Kristus. Kehadiran gereja harus mencampuri adat istiadat manusia, sehingga adat istiadat tersebut sudah diterangi oleh Injil yaitu adat yang tidak terpisahkan dari Injil.[52] Gereja harus masuk dalam adat dan menerangi adat dalam rangka Eklesia, menerangi kegelapan.
Pertemuan antara Gereja (Injil) dengan Adat sering sekali terjadi proses saling mempengaruhi, baik secara sadar atau tidak.  ada 3 kecenderungan yang dijadikan panutan sikap manusia menghadapi adat-istiadat disekelilingnya.
1.        Sikap antagonistis / penolakan akan segala bentuk adat-istiadat yang tidak diingininya, gejala ini kita lihat dalam bentuk fundamentalisme yang ektrim. Di Indonesia semua dedominasi gereja yang menyoroti kelab-kelab malam dan tempat bilyar ketika mendekati hari raya, juga ada kalangan kristen yang melarang merokok, minum-minuman keras, dan nonton secara keras. Sikap ini jelas tidak realistis karena sekalipun yang ditolaknya itu barang haram tapi pengubah mental orang tidak tepat bila menggunakan cara larangan dan paksaan yang bersifat lahir demikian.
2.        Sikap terbuka yang kompromistis yang menerima segala bentuk adat-istiadat lingkungannya. Sikap demikian sering terlihat dalam kecenderungan liberalisme ekstrim yang sering menganut faham kebebasan. Misalnya di Belanda yang dikenal sebagai negara Eropa yang paling liberal, pecandu narkoba bisa menjadi anggota dewan kota dan euthanasia dihalalkan. Kebebasan yang kebablasan demikian juga kurang tepat, karena bagaimanapun manusia hidup didunia berhubungan dengan orang lain, maka kebebasan yang keterlaluan dari sekelompok yang satu bisa berdampak merugikan kelompok lain.
3.        Sikap dualisme. Sikap ini tidak mempertentangkan dan tidak mencampurkan faham-faham adat itu, tetapi membiarkan semua adat-istiadat itu berjalan sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing.
Kebudayaan menurut Alkitab dapat dilihat dari beberapa aspeknya,[53] yaitu:
1.        Allah memberikan manusia ‘tugas kebudayaan’ karena pada dasarnya ‘manusia memiliki gambar seorang pencipta’ (Kej.1:26-27) dan manusia diberi tugas agar ‘menaklukkan dan memerintah bumi’ (Kej.1:28). Jadi, manusia menerima suatu mandat dari Allah dan mandat itu adalah mandat kebudayaan. Lebih jelas lagi disebutkan bahwa: “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” (Kej.2:15); (2) Sesuai Mazmur 150 kita dapat melihat bahwa TUJUAN kebudayaan yang utama adalah untuk ‘memuliakan dan mengasihi Allah, dan agar kebudayaan itu digunakan untuk melayani dan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri.’
2.        Mandat budaya Sebagai panggilan suara kenabian yang mewartakan kebenaran Alkitab didalam memandang seluruh problematika kehidupan disegala bidang baik pendidikan ekonomi, sosial, hukum, kemasyarakat. Bila Alkitab berbicara begitu positif mengenai kebudayaan, mengapa kebudayaan menjadi suatu yang dipersoalkan? Apa yang menyebabkannya? Penyimpangan kebudayaan terjadi misalnya dalam peristiwa ‘Menara Babel’ dimana tujuan kebudayaan menyimpang diarahkan untuk penyembahan berhala dan kebanggaan diri/kelompok (Kej.11). Tema dosa yang merusak tujuan kebudayaan adalah ‘ingin  menjadi seperti Allah’ (Kej.3:5) dan ‘mencari nama’ (Kej.11:4). Jadi dosa telah menyimpangkan kebudayaan sehingga berpotensi  bukan saja untuk tidak memuliakan penciptanya, sebaliknya malah digunakan untuk alat meninggikan diri dan menantang Allah.
Memang tidak mudah untuk melihat kuasa dosa itu kelihatan di dalam kebudayaan, kadang-kadang terlihat dari ‘hasil’ kebudayaan seperti patung lalu disembah, musik digunakan untuk memuliakan manusia & dosa dan menyembah dewa-dewi, dan filsafatpun dapat digunakan tidak sesuai dengan firman Allah (Kol.2:8). Kadang-kadang kuasa dosa terlihat dari ‘cara menggunakan’ hasil  kebudayaan itu.  Yesus berfirman: “Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang kepada adat-istiadat manusia.” (Mrk.6:8).
F.  Sikap Gereja Terhadap Kebudayaan
H. Richard Niebuhr di Amerika Serikat telah membuat bagan tentang sikap gereja terhadap kebudayaanKristus dan Kebudayaan[54]. Ia telah menjelajahi sikap-sikap gereja terhadap kebudayaan sepanjang zaman dalam 5 sikap:
1.      Gereja anti kebudayaan.
2.      Gereja dari kebudayaan.
3.      Gereja diatas kebudayaan.
4.      Gereja dan kebudayaan dalam hubungan paradoks.
5.      Gereja pengubah kebudayaan.
Dapatlah disimpulkan bahwa sikap gereja terhadap kebudayaan adalah :
1.        Gereja menentang kebudayaan khususnya terhadap unsur-unsur yang secara total bertentangan dengan Injil, Contohnya, terhadap cultur agama, suku, dan tata kehidupan yang tidak membangun seperti poligami, perjudian, perhambaan.
2.        Menerima unsur-unsur kebudayaan yang bersesuaian dengan Injil dan bermanfaat bagi kehidupan.
3.        Menerima unsur-unsur kebudayaan tertentu dan mentransformasikannya dengan Injil. Umpanya tata perkawinan, seni tari. Sehingga dapat menjadi sarana Injil.
Bagi mereka yang takut akan Allah, rasanya semua tindakan kita dalam menerima adat-istiadat perlu berorientasi pada Allah dan kehendak-Nya, ini menghasilkan empat pertimbangan berikut, yaitu sikap menghadapi adat-istiadat yang:
1.        Memuji dan memuliakan Allah.
2.        Tidak menyembah berhala.
3.        Mencerminkan kekudusan Allah.
4.        Mengasihi manusia dan kemanusiaan.
Keempatnya berurutan dari atas ke bawah dimana memuji dan memuliakan Allah adalah tugas utama umat Kristen (Mazmur 150) dan ketiga lainnya diukur dari apakah itu meneguhkan kepujian dan kemuliaan Allah atau tidak.
Dengan demikian hidup beragama itu ialah berpikir dan berkarya berdasarkan Kitab Suci atau Alkitab. Di dalam Firman tersebut dijelaskan, manusia tidak diciptakan Tuhan Allah seperti  robot yang kemampuan berpikirnya sebatas yang terprogram. Tetapi diciptakan dengan penuh kesadaran akan dirinya, alam dan Tuhannya. Maksudnya, beragama yang benar, atau beriman kepada Tuhan Pencipta langit dan bumi dengan segala isinya, tujuannya agar dalam memelihara ciptaan-Nya, tiap orang Kristen terpanggil untuk  setia dan mengasihinya dengan cara-Nya sendiri. Di sanalah sifat santun itu menjadi penting. Yaitu, mengkiritisi panggilan-Nya agar membawa pengenalan akan Tuhan secara benar (Kel 3:13 – 4:1).  Semuan itu diarahkan agar iman kepercayaan kita semakin bertumbuh dan bekerkembang sesuai dengan talenta yang dimilikinya. Demikianlah proses mengerti dan melakukan kehendak Allah.
Manusia tidak berjalan dalam kehendak yang kaku, tetapi selalu ada di dalam pembaruan, baik itu kebudayaan, ilmu pengetahuan, teknologi dan sebagainya. Lebih dari itu, berpikir kritis, santun berkarya bagaikan kompas hidup yang tepat bagi manusia melihat pemandangan yang  luas (ke depan) dan beragam objek yang memukau perhatian dan sekaligus mengundang banyak pertanyaan tentang objek-objek yang terpapar di depan kita. Tuhan menghendaki agar kita membangun pekerjaan dan pelayanan yang sungguh-sungguh berkenan kepada-Nya. Itu berarti kita tidak bekerja atau melayani secara sembarangan, atau mengambil muka kepada pimpinan (Ef.6:6), tetapi “dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan, bukan manusia.”
Atas dasar itulah, sifat mengkritisi harus ditopang sikap santun agar karya-karya yang kita lakukan menjadi berkat bagi diri kita sendiri, tentu juga bagi orang lain. Dalam hal ini, kita dapat belajar dari hamba Tuhan abad 1 itu, Yaitu Rasul Paulus. Karena dia juga berpikir kritis terhadap tradisi umat Israel yang sangat dikenalnya dan dihayatinya itu, tetapi dia terbuka pada tuntutan baru dari iman yang berpusat pada  Yesus Kristus yang mati dan bangkit itu, sehingga dia melihat dan percaya bahwa kita tidak dapat diselamatkan oleh Taurat (Yahudi), melainkan hanya oleh Yesus Kristus sebagai penggenapan Hukum Taurat itu. Berdasarkan pernyataan itulah, kepada orang-orang percaya sepanjang zaman dia menyerukan melalui tulisannya kepada jemaat Tessalonika itu : “ujilah  segala sesuatu dan peganglah yang baik  ( 1 Tes 5 : 21 ).



Fidratan. Lions










Komentar

Postingan populer dari blog ini